Skip to main content

Pergi Untuk Kembali: Kisah Kehidupan Salmon

Dalam kesunyian alam, di persembunyian batu-batu sungai yang menjadi saksi bisu perputaran zaman, terlahirlah sebuah kehidupan. Ditengah desiran air yang tenang Sang Salmon kecil, terdiam rapuh di antara ribuan saudaranya yang tak bernama. Tubuhnya tak lebih dari setitik cahaya dalam gelap keabadian, namun di dalam dada mungilnya itu telah berdetak sebuah jantung yang kelak akan mengenal arti kata "perjuangan" lebih dalam dari siapa pun.

Arus sungai adalah guru pertamanya, guru yang tak mengenal belas kasihan, yang mengajarkan bahwa hidup adalah pergerakan. Setiap detik adalah ujian kelangsungan hidup, setiap nafas adalah anugerah yang harus direbut dari cengkeraman kematian. Bayang-bayang pemangsa menari-nari di atas kepalanya seperti malaikat maut yang sedang bersiap menurunkan sayapnya. Namun ia belajar bahwa ketakutan adalah mewah yang tak boleh dipelihara, bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan menari bersama ketakutan itu sendiri.

Ia adalah Salmon, pewaris darah mulia keluarga Salmonidae yang telah mengukir legenda di setiap aliran air. Dalam keragaman yang mempesona, mereka hadir: Chinook, Sockeye, Coho, dan Atlantic Salmon. Mereka tersebar di belahan bumi utara, dari pesisir Pasifik hingga Atlantik, dari sungai-sungai dingin hingga laut tak bertepi. 

Bersama arus yang menjadi teman perjalanan, ia menyusuri jalan kehidupan menuju laut, dunia yang lebih luas, yang lebih bebas, yang lebih penuh janji. Transformasi itu datang perlahan namun pasti. Air asin menggantikan air tawar dalam pembuluh darahnya, langit membentang tak terhingga di atas kepalanya seperti kanvas kosong yang menunggu untuk dilukis dengan mimpi-mimpinya. Bahaya-bahaya baru mengintai dalam bentuk yang belum pernah ia bayangkan, namun tubuhnya tumbuh, jiwanya menguat, dan ia menjadi Salmon dewasa; cepat seperti kilat, kuat seperti badai, bebas seperti angin.

Namun kebebasan, ternyata, bukanlah tujuan akhir. Di dalam dadanya yang telah kokoh itu, bergema sebuah getaran, sebuah panggilan yang datang dari kedalaman waktu, dari akar-akar eksistensinya yang terdalam. Seperti mantra kuno yang dibisikkan nenek moyang, seperti lagu pengantar tidur yang dinyanyikan ibu. Maka berbaliklah ia. Meninggalkan laut yang telah memberikannya segala: kemerdekaan, kekuatan dan kejayaan. Ia berenang menuju sungai yang dulu mengantar kepergiannya. Namun kali ini, ia berenang melawan arus. Kali ini, setiap gerakan adalah perlawanan, setiap nafas adalah perjuangan melawan takdir yang tampak mustahil.

Perjalanan pulang adalah epik yang ditulis dengan darah dan air mata. Sungai yang dulu mengalir tenang kini berubah menjadi medan laga yang garang, air yang dulu membelai kini menampar dengan keganasan, bebatuan yang dulu bersahabat kini menantang dengan ketajaman pedang. Air terjun berdiri tegak. Ia harus melompat, harus terbang sesaat dalam kemustahilan, harus menantang gravitasi. Dan di sana, dalam momen-momen sakral ketika ia terbang melawan arus, menunggu bahaya yang paling kejam: manusia. Mereka berdiri di jeram tersembunyi seperti Malaikat pencabut nyawa, membentangkan jaring-jaring kematian yang telah mereka siapkan. Satu per satu, teman-teman seperjalanannya jatuh. Terjaring dalam perangkap yang tak kasat mata, berkelit sebentar dalam agoni terakhir, lalu diam, hilang ditelan kegelapan. Tak ada waktu untuk berduka, tak ada ruang untuk menangis. Hanya ada satu pilihan: maju atau menyerah. Dan ia memilih maju.

Tubuhnya mulai terluka, sisik-sisik indahnya memudar, nafasnya mulai tersengal-sengal. Namun api dalam dadanya, tak pernah padam. Karena di ujung sana, di dasar sungai tempat pertama kali ia mengenal dunia, menunggu tugas terakhir yang lebih sakral dari semua yang pernah ia lakukan. Dan akhirnya, ia sampai. Di antara batu-batu kerikil yang masih ia kenali, yang masih menyimpan memori kelahirannya, ia menggali lubang dengan sisa-sisa tenaga. Di situlah ia melepaskan telur-telur kehidupan, benih-benih masa depan yang akan melanjutkan kisah yang belum selesai ditulis. Seekor betina yang telah menemani perjalanan pulang yang panjang itu melakukan hal serupa. Mereka berdua diam dalam keheningan, berhenti makan, berhenti bergerak, berhenti berharap pada dunia. Tubuhnya menyerah kepada sungai, kembali kepada air yang telah memberinya kehidupan, mengembalikan diri kepada Sang Pencipta Siklus.

Tak ada tugu peringatan yang didirikan untuknya. Tak ada batu nisan bertuliskan namanya. Namun jejaknya terukir abadi dalam setiap tetes air yang mengalir, dalam setiap benih kehidupan yang berkecambah, dalam setiap Salmon muda yang akan mengulang perjalanan yang sama dengan keberanian yang sama. Dan di sinilah kita, manusia yang sering lupa akan tujuan, berdiri terpana di tepian sungai kehidupan, belajar dari guru yang tak pernah berbicara namun selalu mengajar: Bahwa hidup sejati bukanlah tentang seberapa jauh kita bisa berlari dari asal-usul kita, melainkan tentang seberapa berani kita kembali kepada hakikat diri yang sesungguhnya. Bahwa kekuatan terbesar bukanlah ketika kita berhasil menguasai dunia dan membuatnya tunduk di bawah kaki, melainkan ketika kita rela melepaskan segala yang telah kita raih demi membuka jalan bagi mereka yang akan datang setelah kita. Bahwa keberanian yang sejati bukanlah tentang maju tanpa rasa takut, melainkan tentang pulang dengan tubuh yang penuh luka namun jiwa yang tetap berkobar, tentang menghadapi masa lalu dengan segala konsekuensinya. Dan bahwa hidup, seperti sungai yang tak pernah lelah mengalir, selalu bergerak menuju satu muara yang sama: makna. Makna yang lebih besar dari diri kita sendiri, makna yang akan tetap mengalir jauh setelah kita tak lagi ada, makna yang mengubah kematian menjadi kelahiran, akhir menjadi awal, dan perpisahan menjadi perjumpaan yang abadi.

Demikianlah kisah kehidupan Salmon, yang mengajarkan kita bahwa mati bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari segala yang tak berakhir.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Ap...

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

YouTuber, debater, dan filmmaker. Itulah identitas yang terpampang di akun YouTube Muhammad Agung Hapsah. AGUNG Hapsah. Sosok yang sangat familiar bagi pengguna YouTube. Ketik saja namanya di kolom pencarian situs berbagi video itu. Anda akan menemukan barisan video pendek yang semua inspiratif, lucu, menghibur. Lebih lagi, video yang ditayangkan tidak menyudutkan pihak lain. Pada slot bagian atas laman koleksi videonya di YouTube, ada Agung Hapsah dengan foto hitam putih. Berkacamata. Melirik ke kiri atas. Di bawah namanya tertulis 54 video --saat dibuka kemarin (13/6) pagi. Di bagian bawah lagi, video pendek karyanya berderet. Ada #ArapMaklum w/Agung Hapsah, GO-VIDEO 2016_ Lebih dari Transportasi, dan SALAH PRANK. 6 Fakta Unik tentang Agung Hapsah, dan JOMBLO yang melengkapi urutan lima besar deretan videonya. Tak ketinggalan, ada juga video berjudul Tips Cerdas Memanfaatkan YouTube ala Agung Hapsah. Video ya...

Pesapoang dalam Ingatan

Di ketinggian 35.000 kaki, dalam gemuruh mesin Super Air Jet yang membelah langit dari Jakarta menuju Banyuwangi, kenangan masa kecil tiba-tiba menyeruak bagaikan air terjun yang memecah keheningan. Mata memandang hamparan awan putih di bawah, namun hati melayang jauh ke masa silam, ke sebuah dusun kecil yang terbentang di antara gunung dan lembah: Pesapoang. Jejak Sejarah dalam Bayang Waktu Pesapoang, nama yang terucap lembut di lidah seperti senandung angin sore, dulunya adalah salah satu permata tersembunyi dalam mahkota Desa Adolang. Seperti bunga yang mekar bertahap, wilayah ini tumbuh dan berkembang mengikuti irama zaman. Pada masa itu, Desa Adolang bagaikan payung raksasa yang menaungi tujuh dusun: Mongeare, Siiyang, Pesapoang, serta Rawang, Ratte, Timbogading, dan Galung. Waktu terus berputar, dan seperti anak-anak yang tumbuh dewasa lalu memisahkan diri dari rumah induk, Desa Adolang pun beranak-pinak. Lahirlah Desa Adolang yang merangkul Mongeare, Siiyang, Pesapoang Barat, Pe...