Akhir-akhir ini diskusi di ruang publik dijejali dengan
topik anggaran yang defisit. Hampir seluruh media, membahas topik ini, mulai
dari media cetak, media elektronik sampai kepada media sosial. Isu ini ramai
dibicarakan di level nasional, provinsi, kabupaten bahkan sampai ke level desa.
Menjadi topik pembicaraan hangat dari Ibu Rumah Tangga, tukang ojek, pedagang,
sampai kepada pengguna media sosial yang berasal dari latar belakang yang
beragam.
Tak terkecuali di Kabupaten Paser, persoalan defisit
anggaran juga menjadi topik hangat dalam beberapa minggu ini. Beragam pandangan
dan spekulasi yang muncul dari berbagai kalangan yang kadang-kadang ada yang
memaknainya terlalu “liar” bahkan cenderung "menyesatkan". Untuk
memahami apa sesungguhnya yang terjadi, tulisan ini akan memuat latar belakang
defisit anggaran dan mencoba menawarkan solusi alternatif untuk keluar dari
persoalan ini.
Sebenarnya persoalan ini berawal ketika Pemerintah Pusat
melakukan penundaan pembayaran DBH Triwulan ke IV pada tahun 2015 lalu. Akibat
dari penundaan pembayaran DBH tersebut, beberapa paket kegiatan pada tahun 2015
yang pelaksanaannya sudah mencapai 100%, tidak terbayarkan. Kondisi ini
semakin diperparah dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 dan 250
tahun 2015 dipenghujung tahun tepatnya di Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten
Paser, tanggal 29 Desember 2015. PMK tersebut mengoreksi Peraturan Presiden
(Perpres) 137 tentang DBH yang menjadi pijakan penetapan pendapatan pada APBD
2016 yang penetapannya telah dilakukan sebulan sebelum PMK tersebut dikeluarkan
Menteri Keuangan.
Menyusul penetapan APBN Perubahan 2016 yang diikuti dengan
keluarnya Perpres 66 Tahun 2016 tertanggal 29 Juli 2016, lagi-lagi Pemerintah
Pusat melakukan rasionalisasi besar-besaran dana transfer ke daerah. Untuk
kesekian kalinya tekanan terhadap keuangan Kabupaten Paser kembali terjadi.
Bahkan yang terbaru, melalui Surat Dirjen Perimbangan Kementerian Keuangan
Nomor 579 Tahun 2016 memberitahukan penundaan pembayaran tunjangan
profesi guru untuk triwulan III dan IV. Berita yang sedikit menggembirakan
adalah Kabupaten Paser tidak termasuk dalam list 169 daerah yang mengalami
pemotongan DAU sebagaimana termuat dalam PMK 125 Tahun 2016. Banyak yang keliru
memaknai PMK 125 ini. Ada yang berpendapat bahwa sepatutnya APBD Kabupaten
Paser tidak mengalami defisit karena DAU tidak mengalami pemotongan.
Sebenarnya, tidak masuknya Paser dalam list menunjukkan bahwa kondisi keuangan
Paser dalam kaca mata PMK sudah “sakit” akibat dari pemangkasan item dana
perimbangan lainnya (DBH dan DAK), sehingga kalau DAU juga ikut
dirasionalisasi, tentu akan lebih memperburuk kondisi keuangan Kabupaten Paser.
Dengan kata lain, 169 daerah yang masuk dalam list pengurangan DAU dianggap
masih relatif stabil. Namun demikian, protes dari daerah yang mengalami
pemotongan tak terelakkan.
Hakekat dari DAU sendiri adalah instrumen fiskal yang
digunakan Pemerintah Pusat dalam mengalokasikan dana yang bersumber dari
APBN ke daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33
Tahun 2004). Dengan kata lain DAU berperan untuk menutup celah fiskal
daerah-daerah di Indonesia. Dalam konteks PMK 125, Kabupaten Paser dianggap
celah fiskalnya sudah terbuka cukup lebar. Sebaliknya misalnya Kabupaten Berau
yang mengalami pemotongan DAU dipandang celah fiskalnya masih relatif tertutup.
Persoalan tidak berhenti sampai disitu, rasionalisasi bagi
hasil pajak provinsi dan bantuan keuangan provinsi masing-masing mencapai 23%
dan 67% semakin memperlebar defisit anggaran Kabupaten Paser. Rupanya pilihan
strategi penanganan defisit anggaran yang juga dialami Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur adalah dengan melakukan rasionalisasi transfer ke kabupaten
dan desa.
Dari keseluruhan pengurangan seluruh sumber pendapatan,
terdapat selisih kurang sekitar 25% dari pendapatan APBD Induk dan APBD
Perubahan 2016, yaitu dari 2.25 Triliun turun menjadi 1.68 Triliun atau terjadi
pengurangan sekitar 576,6 Milyar. Selisih kurang ini, menjadi semakin lebar
dengan melesetnya secara signifikan perkiraan SILPA Tahun 2015. Pada APBD
induk, SILPA Tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 290 Milyar. Hal ini
didasarkan pada tradisi SILPA tahun-tahun sebelumnya yang berada pada kisaran
300an Milyar. Kenyataannya, berdasarkan hasil audit BPK terhadap pelaksanaan
APBD 2015, SILPA hanya sekitar 3 Milyar, atau selisih kurang sekitar 287 Milyar
dari yang direncanakan. Tekanan terhadap keuangan Kabupaten Paser semakin kuat
dengan adanya rekomendasi hasil audit BPK dan Inspektorat Kabupaten yang
memerintahkan agar paket-paket kegiatan yang pembayarannya tertunda pada tahun
2015 dianggarkan melalui APBD Perubahan 2016 ini. Tidak tanggung-tanggung,
jumlah anggaran yang harus disiapkan hampir mencapai 300 Milyar. Mencermati
kondisi keuangan yang semakin sulit, kebijakan Bupati
Paser yang menghentikan pelaksanaan seluruh pekerjaan tahun 2016, melalui Surat
Edaran Nomor 903/310/BPKAD pada tanggal 15 Agustus 2015, sudah tepat.
Pertanyaan selanjutunya adalah, bagaimana mengatasi defisit
anggaran dan menyiapkan anggaran untuk alokasi wajib yang harus dialokasikan
dalam APBDP 2016 ini? Dari beberapa opsi yang akan dsampaikan TAPD kepada
Bupati dan Wakil Bupati Paser, yang catatannya sempat bocor ke publik dan
sekarang lagi viral di media sosial, salah satu diantaranya adalah: penundaan
pembayaran seluruh proyek fisik (diluar paket pekerjaan yang pendanaanya
bersumber dari DAK, DID, Bankeuprov, BLUD dan Kapitasi) yang sudah dihentikan pelaksanaannya melalui
SE Bupati, rasionalisasi belanja barang dan jasa (Barjas) sampai 50% dari dana
belanja Barjas yang masih tersisa, penyesuaian ADD, yaitu 10% dari hitungan
akhir transfer dana perimbangan dari Pemerintah Pusat, pengembalikan standar
TPP ke standar tahun 2014, pembayaran paket-paket pekerjaan tahun 2015 yang
tertunda dan rasionalisasi belanja hibah. Opsi lain yang ditawarkan adalah
pengembalian standar gaji PTT pada standar tahun 2014. Terkait dengan opsi
terakhir ini, penulis berpandangan bahwa kebijakan ini kurang tepat mengingat
besaran gaji PTT saat ini masih berada dibawah UMR. Yang mungkin dilakukan ke
depan adalah melakukan rasionalisasi jumlah PTT dengan mempertimbangkan secara
seksama kebutuhan tenaga PTT dalam mendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
direncanakan.
Hasil perhitungan akhir dari opsi-opsi tersebut diatas
ternyata masih menyisakan defisit sekitar 227,8 Milyar. Untuk mengatasi sisa
defisit yang masih signifikan ini, penulis menawarkan opsi tambahan sebagai
berikut: (1) Rasionalisasi sisa belanja barang dan jasa sampai 80%; dan (2) Pembayaran 10%
paket-paket pekerjaan tahun 2015 yang tertunda kecuali DAK DR yang harus
dianggarkan 100%. Selanjutnya penjadwalan ulang (reschedule) pembayaran sisa
paket-paket pekerjaan tahun 2015 pada APBD 2017.
Solusi lain untuk jangka menengah dapat dilakukan penjualan aset daerah. Yang paling dimungkinkan dilakukan adalah penjualan kendaraan dinas. Kebijakan ini menjadi salah satu pilihan Pemkab PPU dalam mengatasi defisit anggaran yang juga mereka alami. Diperkirakan sekitar 14 Milyar dapat diperoleh dari penjualan aset tersebut, dengan asumsi masing-masing SKPD mempunyai 4 kendaraan dinas dan harga jual rata-rata 100 juta per unit. kebijakan ini akan berdampak pada efisiensi anggaran pemeliharaan kendaraan yang nilainya mencapai sekitar 12 M per tahun. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menekan belanja daerah adalah rasionalisai belanja pegawai pada belanja langsung, khususnya pengetatan kegiatan yang dapat diberikan honorarium pelaksana kegiatan.
Solusi lain untuk jangka menengah dapat dilakukan penjualan aset daerah. Yang paling dimungkinkan dilakukan adalah penjualan kendaraan dinas. Kebijakan ini menjadi salah satu pilihan Pemkab PPU dalam mengatasi defisit anggaran yang juga mereka alami. Diperkirakan sekitar 14 Milyar dapat diperoleh dari penjualan aset tersebut, dengan asumsi masing-masing SKPD mempunyai 4 kendaraan dinas dan harga jual rata-rata 100 juta per unit. kebijakan ini akan berdampak pada efisiensi anggaran pemeliharaan kendaraan yang nilainya mencapai sekitar 12 M per tahun. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menekan belanja daerah adalah rasionalisai belanja pegawai pada belanja langsung, khususnya pengetatan kegiatan yang dapat diberikan honorarium pelaksana kegiatan.
Untuk mengatasi defisit anggaran pada APBD Perubahan 2016, beberapa opsi tambahan tersebut diatas patut untuk menjadi bahan pertimbangan. Tentu pelaksanaan seluruh opsi diatas
akan menimbulkan pro dan kontra bahkan bisa saja penolakan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Tapi inilah satu-satunya opsi kebijakan yang dapat diambil untuk
menyelamatkan APBDP 2016 Kabupaten Paser. Hal lain yang perlu dicatat bahwa
pilihan-pilihan tersebut akan berdampak pada penyusunan APBD 2017.
Disclaimer: Pendapat yang ada dalam tulisan ini adalah
pendapat pribadi dan belum menjadi kebijakan TAPD dan Kepala Daerah
Comments
Post a Comment