Skip to main content

Peran Lembaga Pelatihan/Pendidikan Vokasi Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia Di Era Digital



Saat ini kita berada dalam dunia yang telah berubah dari segala sisi. Apa yang dulunya hanya sebuah hayalan fiksi ilmu pengetahuan (science fiction), sekarang menjadi ilmu pengetahuan yang nyata (science fact). Perkembangan teknologi informatika dan komunikasi serta penemuan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang mengantarkan pada era digitisasi dan otomasi menjadi pemicu terjadinya perubahan yang sangat cepat dan eksponensial. Dalam pusaran angin tornado perubahan dunia yang begitu dahsyat, kita dihadapkan pada dua pilihan: men-drive perubahan atau ter-drive oleh perubahan. Dalam dunia saat ini yang semuanya menuntut respon cepat dan akurat, hanya menyisakan satu ruang bagi individu, kelompok, industri bahkan sebuah bangsa untuk bisa survive, yaitu inovasi. Menteri Ketenagakerjaan sering menyebut, kalau dulu para pejuang kita berteriak “Merdeka atau mati” maka sekarang berganti menjadi “Inovatif atau mati”.
Terjangan perubahan di era revolusi industri 4.0 yang juga dikenal dengan era distrupsi ini berdampak pada semua segi kehidupan. Semua berubah dalam hal bagaimana kita berbagi, berkomunikasi, bekerjasama, mengajar, belajar, mencari informasi, mengakses teknologi dan dalam menyuguhkan konten. Perubahan tersebut berdampak kepada dunia usaha dan dunia industri. Betapa kita menyaksikan di abad ini, bisnis yang dulunya merajai pasar tiba-tiba mengalami disrupsi dan kemudian menjadi bangkrut dan menghilang. Disrupsi seperti ini tidak hanya terjadi di level global tapi juga di dalam negeri.
Perubahan ekosistem industri juga berdampak kepada dunia ketenagakerjaan, mencakup hubungan industrial, pasar kerja dan kebutuhan keterampilan. Penelitian yang dilakukan oleh Mckinsey Global Institute menemukan bahwa sekitar 50 persen dari aktifitas pekerjaan yang dilakukan di dunia ini, secara teori dapat diotomatisasi menggunakan teknologi, baik teknologi yang sudah eksis ataupun yang masih dalam pengembangan. Dalam konteks Indonesia, ILO bahkan memprediksi bahwa 56 persen angkatan kerja di Indonesia diperkirakan tergantikan oleh otomasi. Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa banyak angkatan kerja yang harus bertransformasi dan mengalami perubahan yang besar. Pola industri baru ini membawa dampak terciptanya jabatan dan keterampilan kerja baru dan hilangnya beberapa jabatan.
Betapapun pesatnya dan canggihnya perkembangan teknologi informatika dan komunikasi, tidak semua bisa di-digitized dan diotomasi. Kecerdasan mungkin bisa tergantikan oleh mesin, robot dan software tetapi karakter inti manusia seperti kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi dan etik tidak akan bisa tergantikan. Oleh karena itu, peran dunia pendidikan menjadi sangat penting untuk menstimulasi perkembangan karakter inti tersebut melalui peningkatan softskill, yang mencakup antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif. Laporan World Economic Forum menyampaikan bahwa 80 persen skill yang diperlukan tenaga kerja untuk bisa bersaing dalam era revolusi industry 4.0 adalah penguasaan softskill. Technical skill sendiri hanya berada dalam skala 12 persen.
Tantangan penyediaan tenaga kerja yang kompeten semakin berat ketika melihat kondisi tingkat pendidikan angkatan kerja kita saat iniLaporan BPS Agustus tahun 2017 menunjukkan bahwa dari 128,06 juta angkatan kerja, sekitar 58.83 persen lulusan pendidikan dasar (SD/SMP), 29,09 persen lulusan sekolah lanjutan atas (SMA/SMK/MA), dan 12,08 persen lulusan diploma/universitas. Tren yang sama juga terjadi pada profil pendidikan angkatan kerja yang bekerja. Dari 121,02 juta, sekitar 60,08 persen lulusan pendidikan dasar (SD/SMP), 27,86 persen lulusan sekolah lanjutan atas (SMA/SMK/MA), dan 12,06 persen lulusan diploma/universitas. Ironisnya, dari 7,04 juta angkatan kerja yang menganggur, 23,03 persen berasal dari lulusan SMK yang notabene lulusan pendidikan formal kejuruan. Data di atas menunjukkan bahwa ada gap yang cukup lebar antara kompetensi lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan formal bahkan lembaga pendidikan formal kejuruan, dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha dan dunia industri.
Selain isu kualitas SDM/Tenaga kerja yang masih rendah, kemampuan lembaga pelatihan pemerintah dan swasta dalam melatih pencari kerja dan meng-upgrade kompetensi tenaga kerja juga masih sangat terbatas. Kapasitas latih lembaga pelatihan vokasi setiap tahunnya berkisar 2,2 juta. Untuk lembaga pelatihan pemerintah sendiri, dari 303 BLK, kapasitas latih maksimal hanya sekitar 282 ribu orang lebih. Kemampuan tersebut masih jauh dibawah dari kebutuhan suplai tenaga kerja kompeten yang diperlukan untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030, yaitu sebanyak 3,7 juta orang per tahun.
Beberapa kebijakan yang perlu didorong untuk menghadapi tantangan perubahan era revolusi industry 4.0 dalam bidang pendidikan dan pelatihan vokasi antar lain:
1.    Kebijakan “link and match”.
Kebijakan ini diperlukan untuk memastikan kompetensi SDM/tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dengan industri yang berbasis teknologi digital. Diantara langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain: (1) Perancangan program pelatihan dan pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga kerja dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri masa kini dan masa depan. Melalui Komite Vokasi yang merupakan wadah kolaborasi antara pemerintah dan industri telah dilakukan sinergi, mulai dari perancangan program dan design kurikulum dan standard pelatihan, sampai kepada penyelengaraan pelatihan kerja itu sendiri.  Dengan demikian, konsep pendidikan dan pelatihan kerja mengacu kepada kebutuhan dunia industri. (2) selain penyiapan kompetensi pencari kerja, upaya peningkatan keterampilan para pekerja juga terus dilaksanakan agar mampu mempertahankan pekerjaan dan bahkan siap menghadapi kemungkinan terjadinya alih profesi; (3) penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) kepada para peserta didik dan pelatihan juga menjadi bagian penting dalam upaya mencetak tenaga kerja yang siap untuk mengembangkan usaha mandiri.

2.    Masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi
    Transformasi program dan design pelatihan dan pendidikan secara simultan juga harus beriringan dengan upaya masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi. Strategi ini menjadi penting untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja terampil (skilled workers) sekarang dan di masa yang akan datang. Target pemerintah dengan menaikkan jumlah peserta pelatihan kerja menjadi 1,4 juta pada tahun 2019 atau 5 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya merupakan langkah taktis dalam upaya pemenuhan tenaga kerja kompeten pada tahun 2030. Target tersebut memang masih dibawah dari angka 3,7 juta yang disyaratkan McKensie. Oleh karena itu kolaborasi yang telah terbangun antara pemerintah dan dunia industri dalam penciptaan tenaga kerja kompeten melalui pelatihan kerja dan pemagangan perlu terus ditingkatkan. Tentu saja persoalan gap sebaran SDM atau tenaga kerja terampil antar daerah perlu menjadi perhatian dalam pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan dan penyelenggaraannya. Selain itu, pengembangan metode pelatihan jarak jauh melalui aplikasi online system dan android juga bias didorong untuk memperluas akses terhadap pelatihan vokasi. Beberapa jenis pelatihan dapat dikembangkan melalui pendekatan kombinasi antara tatap muka dengan jarak jauh, dimana materi yang bersifat pengetahuan dapat dilakukan melalui jarak jauh, sedangkan prakteknya dilaksanakan dengan metode tatap muka di BLK.

Comments

  1. terima kasih sudah membaca komentar saya pak..!!!

    one word about that : Future!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h