Skip to main content

Peningkatan Kompetensi dan Penggunaan Platform Digital dalam Mendorong Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia

Saat ini posisi ekonomi Indonesia menempati rangking 16 di dunia. Lembaga riset Internasional, McKinsey Global Institute memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030. Bahkan pada tahun 2050 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Untuk bisa mencapai peringkat tersebut, selain diperlukan supply tenaga kerja tenaga kerja terampil dan semi terampil (skilled/semi skilled workers) sebanyak 113 juta atau setara dengan 3.2 juta per tahun, yang tak kalah pentingnya adalah menjaga tren positif pertumbuhan produktivitas Indonesia. Produktivitas merupakan salah satu indikator penting bangsa Indonesia untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.

Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai US$ 24,9 ribu. Angka ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada tahun 1995 yang hanya berkisar diangka US$ 14,8 ribu . Artinya, selama kurun waktu 25 tahun terakhir, produktivitas Indonesia mengalami peningkatan sampai 40,56 persen.

Meskipun produktivitas tenaga kerja Indonesia terus mengalami peningkatan, dibandingkan dengan produktivitas negara-negara di ASEAN, Indonesia masih terpaut jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan data yang dihimpun Asian Productivity Organization (APO) pada 2018, tingkat produktivitas pekerja Indonesia berada pada nilai sekitar US$ 24,9 ribu terhadap total PDB per tahun. Angka ini masih dibawah rata-rata ASEAN yang berada pada kisaran US$ 28,8 ribu, dan Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan dari Thailand dan Malaysia yang masing-masing telah mencapai US$ 28,3 ribu dan US$ 56,4 ribu. Bahkan Indonesia sangat jauh dari angka produktivitas yang dicapai Singapura di posisi pertama yaitu US$ 131,9 ribu.

Menurut McKinsey Global Institute, meskipun tren pertumbuhan produktivitas terus mengalami peningkatan, Indonesia harus mampu melakukan lompatan pertumbuhan produktivitas rata-rata 4,6 per tahun dari rata-rata pertumbuhan saat ini yang baru mencapai 2,9 per tahun.

Pada periode 2000-2010, pertumbuhan produktivitas Indonesia sebesar 2,4 persen per tahun. Diperlukan upaya yang serius untuk bisa tumbuh menjadi 4,6 persen per tahun pada periode 2010-2030 atau harus meningkat 60 persen dari pertumbuhan periode sebelumnya.

Peluang Indonesia untuk terus meningkatkan produktivitasnya semakin terbuka lebar manakala mampu memanfaatkan momentum bonus demografi, dimana pada tahun 2030, usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia akan mencapai 70 persen dari total jumlah penduduk, dan pada tahun 2050, penduduk Indonesia mayoritas berusia muda, yaitu 37 tahun. Dengan demikian, produktivitas akan meningkat karena penduduk yang bekerja lebih banyak daripada yang tidak bekerja. Sebaliknya bonus demografi dapat berbalik menjadi bencana demografi apabila penduduk usia muda tersebut sulit mendapatkan pekerjaan atau tidak siap bersaing di dunia kerja. Kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan momentum bonus demografi di era Revolusi Industri 4.0 ini sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam menciptakan kesempatan kerja seluas-seluasnya dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan kita menyiapkan tenaga kerja Indonesia yang kompeten. Dengan demikian, tingkat produktivitas tenaga kerja mengalami peningkatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, salah isu utama yang muncul kaitannya dengan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tetap stabil dan pencapaian peningkatan kesejahteraan rakyat yang semakin membaik adalah pentingnya terus meningkatkan tren positif pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, rumusan permasalahan yang diajukan dalam penulisan makalah ini adalah:

a. Apa yang menyebabkan masih rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia?
b. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia?

Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2018, dari 124,01 juta orang penduduk yang bekerja, sekitar 58,78 persen adalah lulusan SD dan SMP, 29,04 persen lulusan sekolah lanjutan atas atau sederajat (SMA/SMK), dan 12,18 persen lulusan diploma/universitas. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa dilihat dari sisi tingkat kualifikasi pendidikan formal yang dimiliki, lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia mempunyai kompetensi yang relatif masih sangat rendah, yaitu berpendidikan tingkat SMP ke bawah.

Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan produktivitas tenaga kerja Indonesia menjadi rendah. Kompetensi yang rendah menjadikan akses pekerja Indonesia terhadap jabatan-jabatan yang ada di Industri hanya terbatas pada level operator dan produksi. Sebagai contoh, struktur pekerja sektor industri manufaktur Indonesia, didominasi pekerja operator dan produksi, yaitu 87 persen. Adapun tenaga profesional dan kepemimpinan di sektor industri manufaktur hanya sekitar 3,5 persen. Padahal, semakin banyaknya tenaga profesional bisa mendorong peningkatan produktivitas. 

Faktor lain yang juga berperan dalam menyumbangkan tingkat produktivitas adalah jumlah wirausaha. Secara persentase, jumlah wirausaha di Indonesia hanya berkisar 3,1 persen dari total jumlah penduduk. Persentase tersebut dianggap relatif kecil dibanding dengan negara tetangga di ASEAN lainnya. Misalnya Singapura yang mempunyai jumlah wirausaha tertingi di ASEAN, yaitu mencapai 7 persen. Disusul Malaysia yang telah memiliki 5 persen, Thailand 4,5 persen, dan Vietnam 3,3 persen. Bahkan persentase wirausaha Indonesia masih sangat jauh dari persentase rata-rata jumlah wirausaha negara-negara maju yang mencapai 14 persen. Menurut Bank Dunia, syarat suatu negara punya perekonomian yang baik dan maju adalah minimal 4 persen warganya berwirausaha.

Tentu saja, permasalahan kompetensi tenaga kerja bukan faktor satu-satunya yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Isu-isu terkait pengupahan, ketersediaan infrastruktur dan masalah pengangguran juga menjadi faktor penting yang berkontibusi terhadap produktivitas.

Mencermati pembahasan permasalahan di atas, beberapa pemikiran konseptual dan strategis yang diajukan dalam mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pentingnya peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia
Peran lembaga pelatihan vokasi menjadi sangat strategis dalam upaya mengisi gap kompetensi yang dimiliki tenaga kerja Indonesia. Nature pelatihan vokasi yang dianggap lebih fleksibel dibanding dengan pendidikan formal merupakan salah satu pertimbangan yang relevan. Selain desain program yang fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan skill di Industri, jangka waktu pelatihan yang relatif pendek juga menjadi salah satu keunggulan pelatihan vokasi.

Subtansi program peningkatan kompetensi tenaga kerja harus mengikuti tren Industry 4.0 yang tidak hanya mengandalkan kompetensi teknis tetapi yang tak kalah pentingnya adalah membekali pengetahuan tentang kewirausahaan (entrepreneurship) dan penguasaan teknologi digital. Kompetensi ini dianggap relevan dalam upaya mendorong angkatan kerja Indonesia untuk mengembangkan usaha mandiri. Selain itu, pemberian kompetensi yang terkait dengan softskill juga krusial. Diantara 10 skill utama yang diperlukan saat ini, 3 yang teratas adalah complex problem solving, critical thinking dan creativity. Hal lain yang tak kalah penting adalah upaya masifikasi peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia di dorong melalui program triple skilling (skilling / upskilling / reskilling) yang menyasar pencari kerja, pekerja dan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Selain pelatihan konvensional, pemagangan bagi tenaga kerja juga dapat menjadi alternatif yang dapat di dorong untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja.

b. Pentingnya menciptakan wirasusaha baru
Upaya mencetak para wirasuhawan baru melalui pelatihan wirasusaha baru masih sangat relevan dalam rangka mendorong peningkatan jumlah wirausaha di Indonesia. Lagi-lagi peran lembaga pelatihan produktivitas menjadi sangat strategis dalam rangka mewujudkan penciptaan wirausaha baru.

c. Pemanfaatan Platform Digital
Upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja para pemilik Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM) dapat dilakukan dengan mendorong penggunaan teknologi informasi. Secara sederhana dengan penggunaan platform digital open sources seperti media social, seperti facebook, Instagram, dll dan penempatan produk di marketplace ternama, seperti Bukalapak, Blibli, Elevania, Belanja, dll) dapat dilakukan untuk perluasan pemasaran secara online. Tentu saja pemberian pengetahuan tentang digital ekonomi kepada para wirausahawan menjadi sangat penting, dan lagi-lagi peran lembaga pelatihan tenaga kerja dan produktivitas menjadi sangat penting untuk menjadi eksekutor pelaksanaan pelatihan-pelatihan digital.

Hal lain yang juga penting untuk di dorong adalah bagaimana mendorong lembaga pelatihan kerja dan produktivitas menjadi inkubasi lahirnya para wirausaha melalui pengembangan startup baru. Keberadaan innovation hub yang telah dikembangkan Kementerian Ketenagakerjaan dapat diperluas ke lembaga-lembaga pelatihan kerja dan produktivitas untuk memperluas akses para wirausaha muda yang akan mengembangkan startup baru.

Tawaran solusi tersebut di atas secara simultan harus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan di sektor lainnya, seperti perbaikan sistem pengupahan, pembangunan infrastruktur yang berkontribusi langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan yang tak kalah pentingnnya adalah upaya pengurangan angka pengangguran terbuka yang saat ini masih berada pada kisaran 5,3 persen angkatan kerja.

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah singkat ini adalah:
a. Pendidikan dan pelatihan yang baik akan menghasilkan SDM atau tenaga kerja yang mumpuni yang siap bersaing di pasar kerja. SDM dan tenaga kerja yang unggul akan berdampak kepada peningkatan produktivitas, yang dengan sendirinya akan berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

b. Demikian juga penciptaan wirausaha baru menjadi bagian penting dari strategi untuk meningkatkan produktivitas.

c. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi juga dapat didorong untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja terutama yang bergerak di Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

d. Peran lembaga pelatihan tenaga kerja dan produktivitas menjadi sangat strategis dalam rangka mewujudkan SDM atau tenaga kerja yang kompeten dan mencetak para wirausaha baru.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h