Skip to main content

AI Generatif dan Tantangan Penyiapan Tenaga Kerja

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Generative Artificial Intelligence (GAI) telah menciptakan perubahan besar dalam lanskap dunia kerja dan ekonomi global. Teknologi ini, yang mampu menghasilkan teks, gambar, audio, hingga kode program secara otomatis, tidak lagi terbatas pada sektor teknologi tinggi, melainkan mulai menyentuh berbagai aspek kehidupan kerja, mulai dari layanan publik hingga pendidikan, manufaktur, bahkan UMKM.


Laporan terbaru LinkedIn dan Access Partnership (2025) menyebutkan bahwa penerapan GAI secara menyeluruh di lima negara besar: Amerika Serikat; Jerman; India; Inggris; dan Prancis, berpotensi membuka kapasitas produktif senilai 6,6 triliun dolar AS, setara dengan efisiensi besar dari waktu kerja yang bisa dialihkan untuk inovasi, riset, dan pengembangan produk.

Amerika Serikat diproyeksikan memperoleh manfaat tertinggi, yakni sekitar 4,1 triliun dolar AS atau 15 persen dari PDB-nya tahun 2023. Bahkan India, dengan profil demografi yang serupa dengan Indonesia, berpotensi memperoleh tambahan produktivitas sebesar 621 miliar dolar AS atau 18 persen dari PDB-nya.

Namun, peluang ini tidak serta-merta mudah digapai. Di balik potensi besar GAI, terdapat tantangan mendasar: kesiapan tenaga kerja. Kesenjangan keterampilan digital, terutama terkait kecakapan teknis AI dan literasi AI, masih menjadi penghambat utama adopsi teknologi ini, terutama di sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang justru menyumbang lebih dari 90 persen unit usaha di dunia.

Di Indonesia, tantangan ini semakin kompleks karena ketimpangan kualitas pendidikan, rendahnya penetrasi pelatihan digital yang relevan, dan minimnya program reskilling berbasis kebutuhan industri. Survei global menunjukkan bahwa hanya sekitar 41 persen UKM yang telah mulai memanfaatkan teknologi GAI, dibandingkan dengan 48 persen di kalangan perusahaan besar. Celah inilah yang berisiko memperlebar kesenjangan produktivitas antarsektor dan antardaerah.

Meski begitu, GAI bukan ancaman terhadap lapangan kerja. Justru sebaliknya. Data menunjukkan bahwa 63 persen perusahaan pengguna GAI berencana menambah jumlah pekerja, bukan menguranginya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kapasitas internal mereka dalam mengembangkan aplikasi GAI, memenuhi kebutuhan pelanggan baru, dan menjajaki peluang pasar yang sebelumnya tak tergarap.

Ke depan, arah kebijakan publik dalam bidang ketenagakerjaan harus menyesuaikan dengan dinamika ini. Tiga agenda strategis perlu segera dijalankan.

Pertama, memperluas ketersediaan talenta AI dengan memperkuat kurikulum di pendidikan vokasi dan perguruan tinggi, khususnya di bidang data science, machine learning, dan pemrograman.

Kedua, menyediakan pelatihan literasi AI bagi semua pekerja, termasuk non-teknis, agar mereka mampu memanfaatkan teknologi seperti ChatGPT atau Microsoft Copilot dalam pekerjaan sehari-hari.

Ketiga, memperkuat keterampilan nonteknis (soft skill) seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kolaborasi yang justru semakin penting di era kerja yang didampingi AI.

Sejumlah negara telah bergerak cepat. India meluncurkan AI for All, pelatihan daring dalam berbagai bahasa lokal yang menjangkau jutaan warga. Jerman melalui Hubs for Tomorrow menyediakan pelatihan langsung untuk UKM, termasuk uji coba penerapan GAI secara nyata. Inggris menyusun AI Opportunities Action Plan yang menghubungkan dunia pendidikan, pelatihan kerja, dan industri secara sistematis.

Indonesia tidak kekurangan potensi. Dengan bonus demografi dan semakin luasnya akses internet, kita memiliki modal kuat untuk mengejar ketertinggalan. Namun, keberhasilan transformasi digital kita tidak bisa diserahkan semata kepada pasar. Dibutuhkan kepemimpinan yang berpihak pada pembelajaran sepanjang hayat dan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan dunia pendidikan.

AI generatif bukan tentang menggantikan manusia, tapi memperkuat kapasitasnya untuk bekerja lebih cerdas, kreatif, dan bermakna. Yang jadi pertanyaan penting hari ini bukan lagi “Apakah kita siap bersaing dengan AI?” tetapi “Apakah kita siap tumbuh bersama AI?”

---
Catatan: Tulisan ini disarikan dari laporan AI and the Global Economy: The $6.6 Trillion Opportunity, LinkedIn & Access Partnership, April 2025.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Ap...

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

YouTuber, debater, dan filmmaker. Itulah identitas yang terpampang di akun YouTube Muhammad Agung Hapsah. AGUNG Hapsah. Sosok yang sangat familiar bagi pengguna YouTube. Ketik saja namanya di kolom pencarian situs berbagi video itu. Anda akan menemukan barisan video pendek yang semua inspiratif, lucu, menghibur. Lebih lagi, video yang ditayangkan tidak menyudutkan pihak lain. Pada slot bagian atas laman koleksi videonya di YouTube, ada Agung Hapsah dengan foto hitam putih. Berkacamata. Melirik ke kiri atas. Di bawah namanya tertulis 54 video --saat dibuka kemarin (13/6) pagi. Di bagian bawah lagi, video pendek karyanya berderet. Ada #ArapMaklum w/Agung Hapsah, GO-VIDEO 2016_ Lebih dari Transportasi, dan SALAH PRANK. 6 Fakta Unik tentang Agung Hapsah, dan JOMBLO yang melengkapi urutan lima besar deretan videonya. Tak ketinggalan, ada juga video berjudul Tips Cerdas Memanfaatkan YouTube ala Agung Hapsah. Video ya...

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom...