Lelaki Pembawa Nira

Kampung Pesapoang, liburan sekolah bukan masa untuk bersantai. Anak-anak di sini sudah paham bahwa waktu luang adalah peluang untuk ma'ande gaji, mencari tambahan uang saku. Ada yang ikut memetik kopi milik petani di wilayah pegunungan, ada yang jadi kenek dadakan di proyek rabat jalan, ada pula yang mengumpulkan batu di sungai dan dijual kepada kontraktor proyek jalan. Bagi kami, liburan adalah kerja, bukan rehat.

Pada suatu liburan sekolah, saya dan ibu bersiap pergi ke Paminggalan, sebuah daerah kebun kopi yang letaknya jauh di seberang bukit dan lembah. Hari itu langit biru bersih. Kami berangkat pagi, membawa bekal secukupnya. Kami ditemani kerabat bernama Iyasa. Orangnya baik, tapi pikirannya kadang berkelana sendiri. Dalam bahasa kami biasa disebut Tosele-sele atau Toseno-seno.

Kami melintasi lembah yang dalam, menyeberang sungai kecil, mendaki punggung bukit yang panjang dan menembus hutan yang terasa lebih rapat dari biasanya. Kami melangkah dengan keyakinan bahwa jalur setapak akan membawa kami sampai tujuan. Tapi alam punya caranya sendiri untuk mengingatkan manusia.

Di tengah hutan, jalan setapak yang kami ikuti perlahan menghilang. Semak belukar menutup arah. Pohon-pohon besar berdiri rapat, menciptakan bayangan gelap yang membuat siang terasa senja. Kami mulai berjalan melingkar tanpa sadar. Langkah kami seperti terjebak dalam putaran yang tak berujung.

Ibu berjalan di depan. Seperti biasa, wajahnya tenang, tapi langkahnya pelan dan penuh kewaspadaan. Di tanah kami, orang tua percaya bahwa tidak semua jalur di hutan adalah milik manusia. Ada batas yang tidak terlihat. Ada wilayah yang dijaga oleh makhluk yang lebih dulu tinggal di sana, To Mallibungang, roh penjaga hutan yang dikenal bukan karena tampangnya, melainkan karena adab dan aturan yang mesti dihormati.

Biasanya, sebelum masuk hutan, kami berhenti sejenak untuk memberi salam, sekadar berkata pelan, “Assalamu’alaikum, To Mallibungang. Numpang lewat, mohon dijaga.” Tapi kali itu, kami lupa. Mungkin karena terburu-buru. Mungkin karena terlalu yakin.

Tiba-tiba Iyasa berhenti dan menunjuk ke sebuah celah di antara dua pohon tua.

“Kita lupa minta izin! Lihat… di sana ada tedong laba! Kerbau liar besar! Dia sudah tunggu kita!” katanya dengan suara keras dan mata melotot seperti melihat sesuatu yang tak kami lihat.

Kami semua diam. Suasana berubah. Ucapannya mungkin terdengar ganjil, tapi siapa yang bisa menertawakan firasat di tengah hutan? Nenek saya dulu bercerita, bahwa ada kerbau besar bermata merah yang menjadi penjaga jalur gaib. Ia hanya akan muncul bila batas dilanggar.

Seekor kadal keluar dari balik batu, menatap kami sebentar, lalu menghilang ke semak. Dalam situasi itu, bahkan tatapan kadal pun terasa seperti peringatan.

Kami berdiri membeku, tidak tahu harus melangkah atau mundur. Udara menjadi lebih dingin. Sunyi menggantung seperti kabut yang enggan turun.

Lalu, dari balik semak, muncul seorang lelaki. Tubuhnya tinggi dan kurus, memikul bubung bambu di bahunya, tempat nira biasanya ditampung. Ia berjalan tenang tanpa berkata apa pun. Kami saling pandang, lalu mengikuti langkahnya.

Tapi anehnya, meski kami berjalan cepat, sosok itu tidak pernah bisa kami dekati. Ia tidak lari, tidak menghilang, tapi tetap saja, selalu berada beberapa langkah di depan, seperti bayangan yang tidak bisa dikejar.

Kami terus mengikutinya, melewati jalur sempit yang tiba-tiba terbuka. Pohon-pohon di kanan-kiri seakan memberi ruang, dan cahaya matahari mulai menembus dari sela daun. Di tanah, bayangan dedaunan membentuk pola aneh, lingkaran, garis, bahkan seperti aksara kuno yang tak kami mengerti.

Lalu, tiba-tiba, di balik tikungan kecil yang dibatasi rumpun bambu, lelaki itu hilang. Begitu saja. Tak ada suara langkah. Tak ada gerak. Hanya keheningan dan cahaya yang semakin terang.

Di hadapan kami, terbentang jalan setapak yang lebar dan bersih. Jalur itu nyata, terang, dan dari kejauhan terdengar suara air mengalir. Kami berdiri diam. Terpaku. Dan menyadari bahwa kami telah menemukan jalan yang seharusnya kami tempuh sejak awal.

Ibu menoleh ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Lelaki pemikul nira itu sudah tiada. Tak ada jejak. Tak ada suara.

Beliau menunduk pelan dan berbisik seperti berdoa,

“To Mallibungang… penjaga tanah ini, terima kasih sudah beri jalan.”

Kami kembali melangkah. Iyasa tersenyum tipis, untuk pertama kalinya hari itu, dan berkata pelan,

“Nenek pernah bilang… kalau kau tersesat, dan yang datang memikul bambu, jangan ragu ikut. Mereka tahu jalan pulang.”

---

Sampai sekarang, saya masih sering bertanya: siapa sebenarnya lelaki itu? Malaikat dalam wujud pemanjat nira (Pa'indu/Pakkoi)? Arwah tua yang belum sempat pulang? Atau mungkin hutan itu sendiri, yang jenuh melihat kami berputar-putar dan akhirnya mengutus penunjuk jalan?

Sejak hari itu, saya tak pernah lagi masuk hutan dengan tangan kosong. Saya selalu membawa sepotong gula merah, bukan untuk dimakan, tapi semacam persembahan darurat, kalau-kalau suatu hari lelaki itu muncul lagi. Bukan untuk menukar jalan pulang, tapi sekadar sebagai ucapan terima kasih. Karena tidak semua yang tersesat diberi kehormatan untuk ditemukan kembali.

---

Epilog: Di Antara Jejak yang Tak Terlihat

Hutan tempat kami tumbuh bukan sekadar tempat teduh dan hijau. Ia hidup, punya aturan, dan punya ingatan yang lebih panjang dari umur manusia. Setiap pohon bisa menjadi saksi. Setiap akar bisa menyimpan cerita. Dan kabut pagi, barangkali, sedang menutupi sesuatu yang tidak untuk dilihat semua orang.

Nenak kami selalu mengingatkan, “Jangan hanya fokus pada jalan yang kamu tapaki, tapi sadari juga bahwa bisa jadi ada yang sedang memperhatikan langkahmu." Sebab perjalanan bukan semata soal menuju tujuan, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga sikap dan rasa hormat sepanjang jalan.

Kini, setiap kali saya memasuki alam, saya bawa lebih dari bekal jasmani. Saya bawa diam, hormat, dan satu kenangan: sosok tua pemikul nira yang tak bisa dikejar, tapi meninggalkan jejak arah. Entah siapa. Entah dari mana. Tapi kehadirannya masih saya simpan di dalam hati, dan jejaknya masih terasa sampai hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

Pesapoang Dalam Ingatan