Skip to main content

Kiprah Pelajar Indonesia di Victoria University

Dalam satu dasawarsa terakhir, jumlah pelajar Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Victoria University mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 diperkirakan mencapai sekitar 60 orang. Angka ini dianggap cukup besar dibanding pada tahun 2002 yang hanya berkisar sekitar 8 orang. Mayoritas diantara para pelajar tersebut mengambil program pasca sarjana (Postgraduate) terutama untuk tingkat doctoral. Beberapa diantara mereka adalah alumni program Master dari berbagai jurusan di Victoria University, yang kemudian kembali ke VU untuk melanjutkan pendidikan mereka pada jenjang doctoral.
Keberadaan Dr. Richard Chauvel sebagai Dosen senior di VU yang juga salah satu pakar tentang Indonesia dari Australia, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi di Victoria University. Sampai saat ini tercatat sekitar 15 orang mahasiswa PhD berada dibawah bimbingan Dr. Richard Chauvel. Topik penelitian mereka bervariasi, mulai dari isu desentralisasi, governance, demokratisasi sampai kepada masalah pengembangan ekonomi kerakyatan.
Salah satu mahasiswa yang dibimbing oleh Dr. Richard Chauvel adalah Ali Hapsah. Ali yang yang sedang menyusun thesis tentang Peranan Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Timur adalah salah seorang staff Pemerintah Kabupaten Paser yang sedang tugas belajar setelah mendapatkan beasiswa ALA dari Pemerintah Australia. Ali merupakan salah satu alumni MA Community Development, Victoria University yang lulus pada tahun 2004 atas beasiswa ADS. Semasa kuliah S2, pada tahun 2002 Ali menginisiasi lahirnya Victoria University Indonesian Students Association (VUISA). Sekembalinya pada tahun 2008, Ali kembali dipercaya untuk menjadi Presiden VUISA Periode 2009 – 2010. Dibawah kepemimpinan Ali, VUISA menjadi club resmi yang berafiliasi dengan Victoria University. Selain di VUISA, Ali juga menjadi pengurus Victoria University Postgraduate Association (VUPA). Di luar kampus, Ali juga tercatat sebagai pengurus Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia. Keberhasilan Ali dalam menakhodai VUISA dan keterlibatan dia dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan di Kampus maupun diluar kampus mengantarkan dia sebagai salah satu penerima Student Leadership Award 2010 dari Victoria University. Prestasi lain yang sempat diraih oleh Ali adalah sebagai pemenang Runner Up pada lomba penulisan Essay yang dilaksanakan oleh Australian Indonesia Governance Research Partnership, The Australian National University (ANU).
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh VUISA dibawah kepemimpinan Ali adalah Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2010 yang dilaksanakan pada tanggal 16-18 Juli 2010. Acara konferensi yang mengambil tema sentral tentang pendidikan di Indonesia mendapat dukungan penuh dari Dekan International Faculty of Arts Education and Human Development, Dr. Deborah Tyler. KIPI yang berlangsung selama tiga hari di City Flinders Campus dihadiri Duta Besar Indonesia untuk Australia, Bapak Primo Alui Joelianto dan dibuka secara resmi oleh Vice President (International), VU, Bapak Andrew Holloway. Konferensi ini melibatkan berbagai stakeholders pendidikan, yang terdiri dari unsur Pemerintah, akademisi, peneliti dan organisasi non-pemerintah. Konferensi semakin bermakna dengan hadirnya para pelajar Indonesia yang sedang belajar di berbagai universitas di Australia dan beberapa negara lain, diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Mesir, Taiwan, dan Filipina untuk mempresentasikan penelitian mereka.
KIPI 2010 bertujuan untuk untuk (1) mengembangkan jejaring Pelajar Indonesia di dunia untuk menajamkan strategi demi pembangunan Indonesia melalui sektor pendidikan; (2) mencermati secara kritis kebijakan dan fenomena pendidikan di Indonesia dengan memadukan pengalaman dan wawasan yang unik dari berbagai belahan dunia; (3) merumuskan rekomendasi kebijakan untuk perbaikan pendidikan di tanah air.
Diskusi Panel pertama dengan tema Internasionalisasi Pendikan Tinggi di Indonesia menghadirkan 3 pembicara tamu, Prof. Ainun Na'im (Wakil Rektor UGM bidang Administrasi, Keuangan dan SDM), Dr. Erlenawati Sawir (peneliti di International Education Research Centre, Central Queensland University, dan Prof. Tanya Fitzgerald (Professor Educational Leadership, Management and History, La Trobe University, Australia).
Sesi ini menunjukkan bahwa internasionalisasi pendidikan tinggi yang sedang trend di tanah air perlu dicermati secara kritis. Bila tidak, internasionalisasi malah akan menghambat akses golongan miskin untuk memperoleh pendidikan, tergerusnya nilai-nilai lokal yang semestinya bisa menjadi modal, dan terpisahnya dunia akademik dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Untuk menjawab berbagai resiko tersebut, internasionalisasi pendidikan tinggi di tanah air harus mengacu pada prinsip pendidikan sebagai hak dasar warga negara dimana akses semua golongan dalam masyarakat harus tetap dinomorsatukan. Selain itu, trend ini harus dipahami sebagai politik kultural untuk mengembangkan nilai-nilai multikulralisme dan kosmopolitanisme menuju ‘pandangan dunia’ yang lebih luas dan terbuka. Terakhir, internasionalisasi harus dalam kerangka peningkatan kualitas menuju ‘world-class university’ yang dibarengi dengan berbagai program pengembangan masyarakat sebagia saluran komunikasi dan kontribusi antara dunia akademik dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Diskusi Panel kedua membicarakan isu pendidikan di tanah air melalui perspektif tata kelola dan penyelenggarannya sebagai layanan masyarakat (public services). Dr. Taufik Hanafi (Direktur pada Direktorat Agama dan Pendidikan, Bapenas) menyampaikan makalah dengan judul Decentralisation of Education Sector in Indonesia: Evidence and Policy Implication. Ade Irawan dari Indonesian Corruption Watch/ICW menyampaikan makalah berjudul Good Governance dalam Tata Kelola Anggaran Pendidikan Nasional, dan Prof. Richard Chauvel (Associate Professor at School of Social Science, Victoria University) menyampaikan makalah tentang kerjasama pemerintah pemerintah Australia dan Indonesia dalam program pengembangan pendidikan.
Sesi ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional masih menyimpan berbagai persoalan, mulai dari konseptualisasi hingga implementasi. Aspek konseptualisasi antara lain menyangkut prinsip otonomi berbasis sekolah dimana guru sebagai garda depan proses pembelajaran dan penilaian. Sementara kebijakan ujian nasional yang dijadikan satu-satunya tolak ukur kelulusan tanpa memandang disparitas yang begitu beragam malah bertentangan dengan prinsip ini. Aspek implementasi antara lain menyangkut masalah pendanaan pendidikan yang bersumber dari APBN. Dalam kasus BOS (Biaya Operasional Sekolah), misalnya, proses penyaluran dana langsung ke rekening milik sekolah ternyata tetap tak menghilangkan potensi korupsi karena posisi kepala sekolah yang subordinat di bawah kepala dinas pendidikan di level kabupaten/kota. Dengan otoritas mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah serta menentukan distribusi berbagai dana dari pemerintah, kepala dinas kerapkali memaksa atau menciptakan situasi dimana kepala sekolah harus menyerahkan sejumlah uang supaya institusinya mendapatkan berbagai dana. Tidak hanya masalah uang, yang lebih dikhawatirkan adalah pengaruh relasi kuasa ini pada otonomi sekolah yang harusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyrakat akan pendidikan dan memberikan layanan yang terbaik untuk mereka.
Untuk menjawab persoalan ini, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan ujian nasional sebagai satu-satunya tolak ukur kelulusan. Ujian nasional adalah metode penilaian yang tepat bagi pemerintah untuk memetakan capaian kualitas pendidikan dengan disparitas yang beragam, tapi sangatlah sentralistis dan otoriter bila menjadi satu-satunya tola ukur kelulusan. Otoritas terakhir haruslah dikembalikan kepada guru yang setiap hari menanggung tanggungjawab secara langsung dalam proses pendidikan. Dalam soal potensi korupsi berbagai dana pendidikan, patut dipertimbangkan untuk memperkuat Komite Sekolah sebagai representasi orang tua murid dan pemangku kepentingan pendidikan di sekitar sekolah. Institusi ini harus diperkuat kapasitasnya sehingga mampu menyusun Anggaran Perencanaan Belanja Sekolah (APBS) dan mengawasi penggunaannya, serta mengangkat dan memberhentikan sekolah untuk mengurangi intervensi dan tekanan kepala dinas.
Sementara presentasi pararel 31 makalah yang lolos seleksi mencakup berbagai isu strategis, antara lain studi komparatif pendidikan Negara yang menganut desentralisasi, dilemma privatisasi pendidikan, nasib guru di SBI, pendidikan di daerah terpencil dan literasi kaum bisu tuli. Sebagian besar dari makalah yang dipresentasikan merupakan bagian dari research para pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana, baik program master maupun doctoral degree di universitas luar negeri.
Di akhir konferensi, Panitia Pengarah membacakan rekomendasi kebijakan yang merupakan ekstraksi gagasan, pemikiran dan ide yang tertuang dalam makalah seluruh narasumber serta hasil diskusi para pelajar Indonesia selama 3 hari berlangsungnya konferensi. Rekomendasi kebijakan tersebut meliputi, pemerintah harus:
1. Meninjau ulang Ujian Nasional sebagai satu-satunya tolak ukur kelulusan;
2. Memperbaiki mekanisme pengelolaan beasiswa DIKTI, menyangkut jumlah biaya hidup (living cost),masa studi bagi mahasiswa Doktoral dari 3 tahun menjadi 4 tahun dan pembekalan bahasa Inggris akademis untuk kepentingan studi;
3. Meningkatkan mutu pendidik, anak didik, sistem, dan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh tanah air tanpa membedakan kasta sekolah, sekolah biasa atau sekolah berbasis internasional;
4. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk menangani pendidikan di daerah, termasuk perbaikan sistem dan pengawasan yang lebih ketat atas penggunaan dana publik di sektor pendidikan;
5. Peningkatan mutu pendidikan ke standar internasional harus menitikberatkan pada substansi pendidikan tanpa meninggalkan nilai-nilai local;
6. Pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri adalah duta bangsa, yang memililki kesempatan untuk berkontribusi baik ketika di luar negeri maupun ketika kembali ke Tanah Air;
7. Memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk disadvantage and disabled people, melalui perbaikan cara pandang hingga peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi mereka.
Selain kegiatan konferensi, secara rutin VUISA juga memfasilitasi kegiatan seminar dalam format Indonesian Update yang melibatkan para tokoh-tokoh dari Indonesia. Salah satu tokoh yang pernah hadir dalam seminar yang diselenggarakan VUISA adalah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan, Ibu Khofifah Indar Parawansyah. Kegiatan lain yang terkait dengan akademis adalah acara colloquium yang diselenggarakan sekali dalam sebulan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjadi sarana bagi para mahasiswa Indonesia di VU untuk menyampaikan idea tau gagasan terhadap persoalan yang lagi hangat diperbincangkan di tanah air, seperti kasus Bank Century. Disamping itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menjadi sarana penyampaian rencana atau hasil research para mahasiswa Indonesia di VU.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h