Skip to main content

Catatan Perjalanan Ke Toronto

Tulisan ini memuat sekilas pengalaman saya dalam menghadiri konferensi yang diadakan oleh Canadian South East Asian Studies pada tanggal 14 -16 Oktober 2011. Bagi saya kehadiran saya di konferensi ini menjadi sesuatu yang istimewa karena konferensi ini akan menjadi konferensi internasional pertama yang akan saya hadiri untuk mempresentasikan beberapa temuan dalam peneliatan S3 saya. Satu kebahagian tersendiri karena baru kali ini saya punya kesempatan untuk melakukan perjalanan keluar negeri. Beberapa kesempatan sebelumnya tidak bisa saya gunakan karena adanya kendala visa yang belum juga disetujui sampai pada hari pelaksanaan konferensi.
Dalam buku program konferensi yang dikirimkan melalui kepada saya, terlihat dengan jelas pada halaman sponsor bahwa KJRI Toronto menjadi salah satu sponsor kegiatan ini. Dalam benak saya mengatakan bahwa konferensi ini pasti mempunyai nilai strategis dimata KJRI sehingga KJRI berkenan menjadi salah satu sponsor untuk kegiatan ini. Bagi saya pribadi menjadi sesuatu yang menggembirakan karena saya sudah membayangkan akan ketemu dengan para staf dari KJRI yang sudah barang tentu juga akan berada disekitar arena konferensi.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang akhirnya saya sampai juga di Toronto, Canada. Saya menginap di Hotel sederhana yang berlokasi tidak jauh dari kampus University of Toronto dimana konferensi akan berlangsung. Saya menyempatkan untuk orientasi lokasi konferensi sehari sebelum pelaksanaan konferensi. Dengan bermodalkan petunjuk dari pegawai hotel, saya mencoba menelusuri jalan-jalan di Toronto. Rupanya Kampus University of Toronto cukup luas, sehingga tidak mudah untuk mendapatkan gedung yang dicari. Saya perlu bertanya beberapa kali kepada orang-orang yang saya temui di jalan sebelum akhirnya saya mendapatkan gedung tempat pelaksanaan konferensi yang akan dilaksanakan esok harinya.
Singkat kata, meskipun tidak tidur semalaman karena pengaruh jetlag, saya tetap harus siap-siap untuk menyampaikan presentasi saya yang dijadwalkan pagi ini. Karena saya sudah mengetahui jalan pintas menuju ke lokasi konferensi, saya tidak terlalu memerlukan waktu panjang untuk bisa sampai ke lokasi kegiatan. Beberapa orang terlihat sudah hadir sebelum saya datang dan mereka sudah melakukan registrasi. Tadinya saya membayangkan akan ketemu orang-orang Indonesia, atau paling tidak staf dari KJRI sebagai salah satu sponsor dari kegiatan ini, tapi sampai sesi pertama akan dimulai saya belum juga melihat ada orang Indonesia disekitar arena konferensi. Saya mendapat giliran presentasi pada sesi kedua, karena itu saya mengunakan waktu saya untuk menghadiri panel yang dilaksanakan pada sesi pertama. Diantara beberapa panel yang ada, saya sepertinya lebih condong untuk menghadiri panel yang membahas topik “West Papua” yang diisi 4 pembicara: Ned Byrne dari Vancouver School of Theology dengan topik pergerakan kemerdekaan Papua Barat Modren lintas suku dan identitas tradisional masyarakat Papua; Jenny Munro dari University of Calgary yang membahas dampak pendidikan “colonial” Indonesia terhadap masyarakat Papua, terutama suku Dani yang menjadi studi kasus dalam penelitiannya dengan topik; Julian Smythe dari University of Manitoba yang meneliti tentang lagu-lagu pergerakan yang biasa dinyanyikan sebagai alat pemersatu bangsa Papua untuk mencapai kemerdekaannya; dan Jacob Nerenberg dari University of Toronto yang membahas mengenai advocacy hak asasi manusia terhadap kekerasan dan gender yang terjadi di Papua Barat dan Papua New Guinea. Dalam benak saya, dalam panel ini kemungkinan akan banyak informasi yang disampaikan diluar dari pengetahuan umum saya mengenai Papua selama ini dan ternyata memang benar adanya. Tertarik mengetahui isi presentasi para pembicara, silakan mengubungi saya lewat email.
Ada sekitar 10 orang yang menghadiri panel ini, diluar 4 orang yang menjadi pembicara dalam panel tersebut. Diantara 14 orang tersebut, rupanya saya sendiri yang berasal dari regional Asia. Lainnya adalah para peneliti dari berbagai universitas di Canada dan USA. Yang menarik, semua yang hadir dalam panel tersebut bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, bahkan salah satu pembicara memperkenalkan diri kepada saya dan mengatakan bahwa dia sebenarnya dibesarkan di Kalimantan Barat. Pendek kata, saya satu-satunya orang Indonesia yang hadir di dalam panel itu. Yang lain adalah semua peneliti dan pemerhati masalah Papua Barat. 
Hal lain yang menjadi catatan penting saya selama berada di Toronto adalalah sikap dan pelayanan yang luar biasa ditunjukkan oleh rekan-rekan KJRI Toronto yang sungguh diluar yang saya bayangkan. Pengalaman “kurang baik” dalam berhubungan dengan KJRI sebelumnya memberi kesan dalam pikiran saya bahwa dimana-mana KJRI pasti mempunyai sikap yang sama. Karena itu saya tidak punya inisiatif untuk menghubungi pihak KJRI sebelum saya berangkat menuju Toronto. Tetapi apa yang ditunjukkan oleh pihak KJRI di Toronto benar-benar berbeda dengan apa yang sudah menjadi pengetahuan saya. Saya merasa diperlakukan seperti keluarga sendiri. Saya diajak ke kantor KJRI dan bersilaturahmi dengan staf KJRI. Saya bersama beberapa rekan-rekan dari Indonesia diajak makan siang bersama. Pada malam sebelum saya menuju ke Airport, saya juga diundang makan malam sekaligus beramah tamah dengan keluarga Konsul Pensosbud di kediamannya. Yang paling berkesan adalah ketulusan staf KJRI untuk menampung saya di apartemennya dan mengantar saya mengelilingi kota Toronto. Atas semua pelayanan dan sikap persahabatan yang ditunjukkan rekan-rekan di KJRI Toronto, saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga. Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h