Skip to main content

Tantangan Dunia Ketenagakerjaan di Era Revolusi Industri 4.0

Indonesia memiliki populasi SDM terbesar ke-4 di dunia, yaitu sekitar 260 juta jiwa atau setara dengan 40 persen dari total jumlah populasi ASEAN. Memasuki era bonus demografi yang akan terjadi pada kurun waktu 2020-2030, semakin memposisikan Indonesia sebagai negara yang paling berpotensi bergerak maju dalam percaturan global. Lembaga riset Internasional, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang.
Indonesia memiliki populasi SDM terbesar ke-4 di dunia, yaitu sekitar 260 juta jiwa atau setara dengan 40 persen dari total jumlah populasi ASEAN. Memasuki era bonus demografi yang akan terjadi pada kurun waktu 2020-2030, semakin memposisikan Indonesia sebagai negara yang paling berpotensi bergerak maju dalam percaturan global. Lembaga riset Internasional, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang.
Untuk menuju kearah tersebut diperkirakan membutuhkan tenaga kerja kompeten sebanyak 113 juta orang. Jika pada tahun 2015, Indonesia masih berada di peringkat 16 ekonomi terbesar dunia, dengan jumlah tenaga kerja kompeten sebanyak 57 juta orang, maka diperlukan suplai tenaga kerja kompeten per-tahun sebanyak 3,7 juta orang. Kebutuhan tenaga kerja kompeten tersebut untuk mengisi okupasi di berbagai level, mulai level operator/pelaksana, teknisi/analis dan ahli di berbagai sektor ekonomi.
Menuju negara dengan ekonomi terbesar ke-7 dunia pada tahun 2030, dengan situasi dunia kerja yang mengalami transformasi yang sangat cepat, Indonesia dihadapkan pada tantangan penyediaan tenaga kerja yang kompeten. Laporan BPS Agustus tahun 2017 menunjukkan bahwa dari 128,06 juta angkatan kerja, sekitar 60,08 persen lulusan pendidikan dasar (SD/SMP), 27,86 persen lulusan sekolah lanjutan atas (SMA/SMK/MA), dan 12,06 persen lulusan diploma/universitas. Ironisnya, dari 5,50 persen Tingkat Pengangguran Terbuka, 23 persen berasal dari lulusan SMK yang notabene lulusan pendidikan formal kejuruan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang cukup lebar antara kompetensi lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan formal bahkan lembaga pendidikan formal kejuruan, dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan kenyataan tersebut, menjadi tanggung jawab dunia pendidikan khususnya pendidikan vokasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Selain isu kompetensi dan daya saing SDM/Tenaga kerja yang masih rendah, permasalahan kemampuan lembaga pelatihan pemerintah dan swasta dalam meningkatkan kompetensi dan daya saing lulusan pendidikan formal sebagai pencari kerja juga masih sangat terbatas. Berdasarkan grand design pelatihan vokasi, bahwa setiap tahun angkatan kerja baru yang memasuki dunia kerja sebanyak 2 juta orang. Untuk lembaga pelatihan pemerintah sendiri, dari di 301 BLK UPTP dan UPTD, kapasitas latih maksimal hanya sekitar 275 ribu orang.
Dalam hal daya saing, kita masih mempunyai PR yang perlu kita jawab bersama. Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index, GCI) yang dipublikasikan oleh World Economic Forum menunjukkan bahwa pada periode 2016-2017, Indonesia turun 4 peringkat dari periode sebelumnya, yaitu berada pada peringkat 41 dari 138 negara. Salah satu pilar daya saing yang mendapatkan peringkat paling rendah adalah pilar efisiensi pasar kerja yang mencakup diantaranya sub indikator biaya redundansi, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan fleksibilitas dalam penentuan upah. Indonesia dikenal sebagai Negara yang tenaga kerjanya sangat menentang outsourcing dan sulit melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat tren global saat ini menghendaki pasar kerja yang lebih fleksibel menyesuaikan dengan tren pekerjaan yang lebih cenderung berbentuk kontrak jangka pendek.
Tantangan utama lainnya adalah revolusi industri 4.0 yang melanda dunia saat ini. Era ini ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan penemuan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Terjangan revolusi industri 4.0 berdampak pada semua segi kehidupan, tak terkecuali dalam bidang ketenenagakerjaan. Saat ini dunia kerja berada pada integrasi pemanfaatan internet dengan lini produksi di dunia industri melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi dan informasi. Revolusi industri 4.0 membawa kita pada era digitalisasi, optimalisasi dan kustomisasi produksi, otomasi dan adapsi, human machine interaction, value added services and businesses, automatic data exchange and communication, dan penggunaan teknologi internet. Sistem otomasi dan kecerdasan buatan belakangan ini telah menunjukkan bahwa teknologi dapat melakukan pekerjaan yang setara atau bahkan lebih baik dari pada manusia, baik pada pekerjaan yang bersifat memiliki resiko tinggi, sampai kepada pekerjaan rutin dan rendah keterampilan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mckinsey Global Institute menemukan bahwa sekitar 50 persen dari aktifitas yang pekerjaan yang dilakukan di dunia, secara teori dapat di otomatisasi menggunakan teknologi yang sudah ada, baik yang sudah terealisasi ataupun yang masih dalam pengembangan. Dalam konteks Indonesia ILO bahkan memprediksi bahwa 56 persen angkatan kerja di Indonesia diperkirakan tergantikan oleh otomasi Industri 4.0. Temuan ini menyiratkan bahwa banyak angkatan kerja yang harus bertransformasi dan mengalami perubahan yang besar. Secara detail penelitian McKinsey tahun 2017 menjelaskan bahwa ada 6 sektor yang dapat digantikan oleh otomasi di industri 4.0 seperti, food service (pelayan), manufaktur, pertanian, transportasi dan gudang, ritel dan pertambangan.
Singkatnya, Revolusi Industri 4.0 secara fundamental telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi satu dengan yang lain. Perubahan tersebut juga berpengaruh pada karakter pekerjaan sehingga keterampilan yang diperlukan juga berubah. Pola industri baru ini membawa dampak terciptanya jabatan dan keterampilan kerja baru dan hilangnya beberapa jabatan.
Dengan situasi yang demikian, tantangan yang kita hadapi adalah: (1) bagaimana dunia pendidikan/pelatihan dan dunia industri mempersiapkan dan memetakan angkatan kerja dengan mempertimbangkan perkembangan sektor ketenagakerjaan; (2) bagaimana melakukan transformasi pasar kerja secara fundamental dengan mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri; (3) bagaimana mengantisipasi perubahan jabatan dan adaptasi kebutuhan keterampilan baru; serta (4) bagaimana meningkatkan ketrampilan dan kompetensi tenaga kerja secara konsisten dan berkesinambungan (continued improvement) sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang semakin berkembang pesat; dan bagaimana membuat pasar kerja lebih fleksibel.
Beberapa langkah yang perlu menjadi perhatian kita semua untuk menghadapi tantangan perubahan era revolusi industry 4.0 dalam bidang pendidikan dan pelatihan vokasi antar lain:
• Memastikan agar kompetensi SDM sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dengan industri yang berbasis teknologi digital. Diantara langkah-langkah yang harus dilakukan oleh stakeholder pendidikan dan pelatihan antara lain: (1) Perancangan program pelatihan dan pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga kerja dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri masa kini dan masa depan. Selain fokus pada peningkatan technical skill, yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan softskill. Laporan World Economic Forum menyampaikan bahwa 80 persen skill yang diperlukan tenaga kerja untuk bisa bersaing dalam era revolusi industry 4.0 adalah penguasaan softskill. Technical skill sendiri hanya berada dalam skala 12 persen; (2) selain penyiapan kompetensi pencari kerja, upaya peningkatan keterampilan para pekerja juga menjadi keharusan agar mampu mempertahankan pekerjaan dan bahkan siap menghadapi kemungkinan terjadinya alih profesi; (3) penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) kepada para peserta didik dan pelatihan juga menjadi bagian penting dalam upaya mencetak tenaga kerja yang siap untuk mengembangkan usaha mandiri.
• Masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi. Transformasi program dan design pelatihan dan pendidikan secara simultan juga harus beriringan dengan upaya masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi. Strategi ini menjadi penting untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja terampil (skilled workers) sekarang dan di masa yang akan datang. Target pemerintah dengan menaikkan jumlah peserta pelatihan kerja menjadi 1,4 juta pada tahun 2019 atau 5 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya merupakan langkah taktis dalam upaya pemenuhan tenaga kerja kompeten pada tahun 2030. Target tersebut memang masih dibawah dari angka 3,7 juta yang disyaratkan McKensie. Oleh karena itu kolaborasi yang telah terbangun antara pemerintah dan dunia industri dalam penciptaan tenaga kerja kompeten melalui pelatihan kerja dan pemagangan perlu terus ditingkatkan. Tentu saja persoalan gap sebaran SDM atau tenaga kerja terampil antar daerah perlu menjadi perhatian dalam pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan dan penyelenggaraannya.
Dalam upaya mempercepat peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, khususnya dukungan dari kalangan dunia usaha dan industri. Pemenuhan 3,7 juta sumber daya manusia (SDM) terampil tiap tahun hanya bisa tercapai apabila ada dukungan yang kuat dari dunia usaha dan dunia industri. Kolaborasi diperlukan mulai dari perancangan program dan design kurikulum dan standard pelatihan, sampai kepada penyelengaraan pelatihan kerja itu sendiri. Dengan demikian, konsep pendidikan dan pelatihan kerja mengacu kepada kebutuhan dunia industri. Dalam rangka untuk peningkatan akses terhadap pelatihan vokasi, penyediaan layanan pelatihan berbasis teknologi dalam bentuk pengembangan metode pelatihan jarak jauh perlu ditingkatkan. Beberapa jenis pelatihan dapat dikembangkan melalui pendekatan kombinasi antara tatap muka dengan jarak jauh, dimana materi yang bersifat pengetahuan dapat dilakukan melalui jarak jauh, sedangkan prakteknya dilaksanakan dengan metode tatap muka di lembaga pelatihan.
Sebagai kesimpulan, perubahan yang sangat cepat dan massif yang mendistrupsi seluruh sendi kehidupan tidak terelakkan. Hanya ada dua pilihan: melakukan respon yang cepat dan tepat atau pasrah terlindas roda perubahan. Tentu saja pilihannya adalah adalah bagaimana merespon perubahan tersebut dengan cepat. Perubahan dunia industri yang begitu pesat akibat dari perkembangan teknologi berdampak pada dunia ketenagakerjaan. Peran pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi sangat strategis dalam rangka penyiapan dan penyesuaian keterampilan angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan industry zaman now.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h