Skip to main content

Memahami Agung Hapsah; Diantara Leicester, Sadiq Khan, Joey Alexander dan Taj Pabari

Belum setengah perjalanan tahun 2016 ini, namun telah banyak hal-hal maupun tokoh-tokoh yang menginspirasi bermunculan. Di bidang olah raga, dunia dikejutkan dengan tampilnya Leicester City, tim non unggulan dan berdana kecil, sebagai pemenang Liga Primer Inggris untuk pertama kalinya, setelah tahun lalu tampil sebagai tim promosi dan nyaris terdegradasi. Di bidang politik, Sadiq Khan menarik perhatian dunia setelah memenangkan pemilihan Wali Kota London, dimana untuk pertama kalinya keturunan imigran Muslim menjadi wali kota di Uni Eropa, berasal dari keluarga jelata dan tinggal di perumahan rakyat yang disubsidi pemerintah. 
Di bidang musik, Joey Alexander memberi kejutan sebagai orang Indonesia pertama, juga menjadi nominator termuda, yang masuk dalam dua nominasi serta tampil di acara puncak Grammy Awards. Di bidang teknologi, muncul inovator dan pengusaha muda yang mencengangkan dari Brisbane Australia, Taj Pabari, pendiri perusahaan Fiftysix, menciptakan tablet elektronik untuk sektor non-profit dan swasta, mempekerjakan 10 staf penuh waktu serta hampir 20 kontraktor paruh waktu di seluruh dunia. 
Lalu, di dunia Youtubers, ada anak asal Tanah Grogot yang telah merebut perhatian. Agung Hapsah. Masih 16 tahun, namun pandai fotografi, videografi, editing dan debat Bahasa Inggris. Ia memanfaatkan media Youtube yang sedang digandrungi zaman sekarang, untuk menyalurkan hobinya itu secara kreatif, dengan karakter yang khas dalam bertutur dan terlihat dewasa melampaui umurnya. Mungkin akibat pernah tinggal di Australia dari masa kecil hingga SMP, sehingga pada Agung terjadi kolaborasi aksen Amerika-Indonesia-Makassar, karena ibunya asal Makassar, namun aksennya tak separah Cinta Laura, karena ia bukan blesteran. 
Memiliki 200 subscribers di awal tahun 2015, kini hingga mencapai lebih dari 40.500 pelanggan. Dalam tiga bulan terakhir, pertambahan subscriber-nya melonjak hingga diatas 100%, dalam sehari rata-rata bertambah sekitar 230 pelanggan baru. Memang tak bisa disamakan dengan perkembangan subscribers-nya Raditya Dika, Edho Zell maupun Bayu Skak yang telah lama berkecimpung di dunia Youtube. 
Mengapa Agung menginspirasi? Jika Youtubers lain memamerkan hal-hal yg bersifat lux dalam video-videonya, seperti halnya Leicester ataupun Sadiq Khan, Agung justru memamerkan kesederhanaan dan keterbatasan yang dibalut dengan kecerdasannya, selalu perfeksionis dan progresif dalam karyanya, tidak asal jadi atau bersifat pengulangan ide dari video yang sebelumnya. Jika yang lain mengajak orang-orang terkenal dalam vlog-nya, Agung justru memberdayakan dan memperkenalkan teman-teman dan orang-orang di sekitarnya yang cenderung tampil apa adanya. 
Agung juga memperlihatkan bahwa, membuat suatu karya, tidak harus berada di kota besar, dengan fasilitas yang serba memadai, namun dari pelosok pun dapat menghasilkan karya yang brilian dan mengagumkan. Perlengkapan videografinya juga tidak harus yang mahal, asal ada niat dan mampu menggunakannya secara maksimal, pasti tak kalah menarik untuk mengekplorasi ide-ide kreatif. 
Cara dia mengkritik sebuah film pendek juga dianggap tidak biasa, blak-blakan dan sangat detail. Untuk mengantisipasi dikritik balik, Agung telah mempersiapkan video bertema kritik, mengkonfirmasi bahwa ia pun tidak anti kritik, bahwa kritik dari seseorang itu adalah sehat dan berbeda dengan istilah hater.Ini bukankah suatu langkah yang cerdas? 
Apakah terlalu dini atau begitu berlebihan untuk mengapresiasi dan memberi persepsi terhadap karya-karya Agung saat ini? Memang bisa jadi dianggap belum sefenomenal nama-nama di atas, apalagi dunia Youtube masih bersifat segmented. Namun sudah adanya pengakuan, menjadi modal awal bahwa Agung adalah next rising star. 
Pengakuan dan dukungan bagi pemilih outro dan tagline “until next time, stay classy” ini datang dari sejumlah nama terkenal semisal Raditya Dika, Dennis Adishwara, Ernest Prakasa, Ge Pamungkas, Anji, Reza Oktavian dan Da Lopez Brothers. Sejumlah media juga telah mewawancarainya, bahkan telah diundang menjadi nara sumber dalam beberapa workshop video online. Agung adalah potensi besar bangsa ke depan, yang sedari dini patut diapresiasi, didukung dan dibantu berkembang, tidak hanya dari kalangan yang bersentuhan langsung dengan bidangnya saja, tapi juga pemerintah dan swasta. Seperti juga Joey yang disebut-sebut sebagai penerusnya Miles Davis, Pabari sebagai Steve Jobs atau Bill Gates berikutnya, Agung adalah next generation-nya Raditya Dika, James Cameron atau Alfonso Cuaron. 
Ketika diwawancara viaSkipe di Metro TV, saat host menanyakan tiga kata yang menggambarkan karakternya di Youtube, Agung dengan polos menjawab yaitu: sombong, kreatif dan forward thinking. Entah apa definisi sombong menurut Agung, apakah nanti berlagak sombong seseorang baru dikatakan berkelas? Taj Pabari juga berusia 16 tahun, bahkan Joey Alexander masih berumur  12 tahun, namun kesan berkelas pada karya-karyanya tidak diikuti sikap jumawa. 
Di beberapa video Agung memperlihatkan sikapnya seperti melempar roti ke meja, mengendarai motor sambil menghidupkan kamera, membolos kegiatan, sering terlambat ke sekolah, tidur di kelas, hampir tiap hari dimarahi guru, mengatakan “ku bunuh kamu betulan!”, dan lain-lain. Sikap-sikap seperti itu menjadi wajar di usia muda yang sangat dinamis dan rawan labil apalagi di zaman kebebasan berekspresi dan menuntut eksistensi tinggi saat ini. Agung yang masih dalam katagori anak tentu harus terus mengasah responsibilitasnya, didukung oleh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 
Agung yang saat ini tengah menjadi role modeldapat menggunakan kesempatan untuk mengeksekusi pengaruhnya lewat hasil karyanya, terutama bagi anak-anak, remaja dan pemuda, untuk lebih fokus ke hal-hal yang positif di tengah mudahnya kaum muda dikendalikan pengaruh negatif perkembangan zaman. Ini akan membuat Agung lebih inspiratif lagi, seperti kepedulian terhadap sampah dan anak-anak yang sudah diperlihatkan, atau bisa juga menunjukan sisi religiusnya yang moderat. Disamping itu, memperkenalkan daerahnya yang memang masih banyak yang belum tahu apa potensinya juga perlu menjadi perhatian, seperti juga Belitung yang akhirnya terkenal paska Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. 
Semoga ke depan Agung, tidak mengalami dilema, antara eksplorasi atau eksploitasi, hanya menyalurkan hobi atau aji mumpung sekalian bisa menghasilkan uang dan ketenaran, antara sekolah atau bekerja. Bisa saja Agung akan segera berkarir ke Jakarta, seperti halnya Rezky Febian yang memilih home schooling. Waktu yang akan menjawabnya. Namun demikian, Agung seperti halnya Leicester, Khan, Joey dan Pabari kiranya sepakat bahwa sikap konsistensi adalah modal utama menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Happy sweet seventeen ya Gung!

Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/fikrifachriezal/memahami-agung-hapsah-diantara-leicester-sadiq-khan-joey-alexander-dan-taj-pabari_5732ff47c4afbd3223bbe1fd


Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Apa yang dicapai Agun

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom

Community Development: Between Expectation and Reality

INTRODUCTION Modernization promoted by western countries, followed by economic rationalism, has shown remarkable achievement. The presumption to its unquestionable success was based on the attaining of high performance of economic growth due to the high rate of investments in industrial sector. The development strategies following this approach is the achieving a maximum production by maximally managing resources with the purpose for people benefit. The principle of this strategy is that the increase of production would automatically increase the benefit for community. However, a range problem, including poverty, environmental deterioration, and the isolation of people from the development process, came up together with this sophistication.  It clearly indicates that this success unable to fulfil the most essential need for human being socially, economically and politically, which are the need for community to live with their environment harmonically, and the need for them to live in h