Malam itu (21/02/2025), langit Jakarta kelabu, seolah menahan napas panjang yang tak kunjung terhembus. Udara selepas magrib terasa lebih berat dari biasanya, membawa firasat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku baru saja menyelesaikan rutinitas jogging di sekitar GBK, tempat di mana keringat dan kelelahan menjadi ritual sederhana untuk menjaga kebugaran. Seperti biasa, perjalanan pulang ke rumah adalah momen tenang bagiku, saat pikiran mulai merangkai rencana-rencana esok hari.
Namun, ketenangan itu pecah oleh dering ponsel yang tiba-tiba memecah kesunyian mobil. Getarannya mengguncang dada, menyayat rasa, menghantarkan kabar yang tiada pernah terbayang sebelumnya. Dari seberang sana, suara istri terdengar lirih, ia menangis, isaknya terputus-putus terisak "Bapak... Bapak sudah tiada," katanya, nyaris tak terdengar di antara helaan napas yang tertahan.
Aku sedang dalam perjalanan pulang. Langit Jakarta mulai gelap. Jalanan terasa panjang, lampu-lampu kota berpendar tanpa makna, seakan turut berduka dalam kesunyian yang mencekam.
Sesampainya di rumah, kegelisahan menari-nari tanpa kendali. Tiket. Harus segera mencari tiket. Namun kejamnya waktu dan nasib, semua aplikasi mengabarkan penerbangan penuh (fully booked). Pikiranku berkecamuk, hatiku terbakar resah. Kabar angin mengatakan rombongan kepala daerah yang baru dilantik telah menguasai kursi-kursi penerbangan.
Dalam kebingungan, kuhubungi seorang kawan. Dalam kecemasan yang panjang, akhirnya sebuah kabar datang: satu tiket tersedia untuk penerbangan pagi dari Jakarta ke Makassar. Hanya satu, untuk istri. Dadaku sesak, ingin rasanya turut serta, namun kutahu ini saatnya ia berpamitan dengan sang Bapak, walau hanya seorang diri.
Keputusan telah bulat, keluarga sepakat Bapak akan dimakamkan di tanah kelahirannya, di kampung yang penuh kenangan di Malakaji Gowa, di tanah yang selalu ia rindukan dalam setiap cerita tentang masa mudanya. Di tanah yang dahulu menjadi saksi langkah-langkah kuat seorang pekerja keras yang tak pernah lelah menghidupi keluarga. Seorang pria yang tubuhnya dulu padat berisi, perlahan menipis oleh waktu dan penyakit yang diam-diam menggerogoti.
Dalam beberapa tahun terakhir, kulihat tubuhnya semakin ringkih, pandangannya kian sayu. Namun senyumnya tak pernah luntur, keramahan yang membuatnya dikenal banyak orang, karena keikhlasannya membantu siapa saja yang membutuhkan. Hingga akhirnya, ia jatuh sakit, masuk rumah sakit, dan kembali pulang dalam kondisi yang kian lemah. Tak ada yang menyangka bahwa kepulangannya ke rumah adalah kepulangan terakhir dalam hidupnya.
Kenangan terakhir bertemu dengannya di penghujung tahun 2024 kembali terlintas. Saat itu, senyum hangatnya masih sama, sorot matanya masih penuh kasih, walau lelah jelas tergurat di wajah tuanya.
Kini, tubuhnya akan kembali ke tanah, namun kebaikannya akan terus hidup dalam ingatan. Selamat jalan, Bapak. Semoga perjalananmu lapang, diterima segala amal ibadahmu, diampuni segala dosa-dosamu, dan husnul khatimah di sisi-Nya.
Engkau telah kembali ke pangkuan-Nya, meninggalkan kami yang masih harus melanjutkan perjalanan di dunia ini. Namun, keteguhanmu, kerja kerasmu, dan kebaikanmu akan selalu menjadi pelita dalam hidup kami.
Sekali lagi Selamat jalan, Bapak. Terima kasih atas segala pelajaran dan kasih sayangmu. Semoga surga menjadi tempatmu beristirahat abadi.
Allahumma firlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.
Lahul Fatihah unruk Bapak H. Muis Fachmi
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Comments
Post a Comment