Skip to main content

Cerber: Cahaya di Balik Langit Kelabu (2)

Matahari terbit dengan warna pucat di atas tanah retak yang seolah kelelahan menanti hujan. Langit tetap kelabu, angin tetap membawa debu, dan kehidupan di desa kecil itu terus berputar tanpa kejutan. Raka, yang dahulu menjadi kebanggaan sekolahnya, kini hanya seorang pemuda yang hilang bak tertelan masa.

Setelah lulus SMA, ia kembali ke ladang, menyatu dengan tanah yang pernah menjadi saksi perjuangan ibunya. Setahun lamanya ia memegang cangkul, menanam singkong, mengangkut hasil panen, dan menjualnya ke pasar bersama ibunya. Ia mencoba menerima kenyataan bahwa mimpinya telah kandas, bahwa ilmu yang ia kejar hanya akan menjadi bayangan yang pudar seiring waktu.
Namun, hidup punya caranya sendiri dalam menyalakan kembali api yang hampir padam.
--------
Suatu hari, di tengah kesibukannya membantu ibunya di pasar, Raka bertemu dengan seorang pria paruh baya yang sedang mengadakan kegiatan sosial di desanya. Pria itu melihat sesuatu dalam diri Raka—cahaya yang redup tapi belum benar-benar mati. Setelah mendengar kisah hidupnya, pria itu tanpa ragu menawarkan sesuatu yang tak pernah Raka bayangkan: kesempatan untuk melanjutkan kuliah.
Raka terdiam, hatinya bergemuruh. Ia bukan siapa-siapa bagi pria itu, tapi mengapa orang asing ini rela membantunya? Namun, ketika pria itu berkata dengan tegas, "Jangan biarkan tanah ini mengubur impianmu sebelum sempat kau genggam," Raka tahu, inilah saatnya untuk bangkit.
Awalnya, Raka ragu. Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan ibunya yang telah berjuang sekuat tenaga untuknya? Namun, Bu Sri tersenyum, air mata menggenangi matanya, dan berkata, "Pergilah, Nak. Jangan biarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Bawalah ilmu itu pulang, untuk membangun desa kita."
Maka, dengan hati yang berat dan mata yang berkaca-kaca, ia meninggalkan kampung halaman, membawa sepasang sepatu butut dan harapan yang kembali menyala.
-------
Ibukota provinsi menyambutnya dengan kebisingan dan gedung-gedung tinggi yang terasa asing. Ia menumpang di kosan milik pria yang mengulurkan tangannya, dan sebagai balasannya, ia diberi tugas mengelola 28 kamar kos.
Awalnya, ia memilih jurusan Pertanian, ingin kembali ke kampungnya suatu hari nanti dan mengubah nasib tanah kelahirannya. Namun, beasiswa yang akan diterimanya hanya berlaku satu tahun. Tahun kedua dan seterusnya, ia harus membiayai dirinya sendiri.
Ketakutan mulai merayapi pikirannya. Bagaimana jika ia tidak mampu? Bagaimana jika semua ini hanya akan membawanya kembali ke tanah tandus itu dengan tangan hampa?
Ia pun memutuskan untuk pulang. Lebih baik kembali ke desa, kembali ke ladang, daripada tersesat di kota dengan impian yang setengah mati.
Namun, di tengah kegalauan itu, seorang teman menahannya. Dengan mata tajam, ia berkata, "Jangan sampai kau menyesal seumur hidup, Raka. Jangan biarkan kesempatan ini berlalu dan kau hanya bisa berkata ‘andaikan dulu saya kuliah…’."
Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari apapun.
--------
Dengan tekad yang baru, Raka memilih jalan lain. Ia berpindah ke jurusan non-eksakta, bukan karena ia menyukainya, tetapi karena di sana ia bisa mendapatkan beasiswa penuh hingga lulus. Ia mengorbankan mimpinya, tapi ia tahu, ini satu-satunya cara agar ia tetap bertahan.
Maka, perjuangan yang sesungguhnya dimulai.
Setiap pagi, ia mengayuh sepeda sejauh belasan kilometer untuk mencapai kampus, menghemat setiap rupiah yang ia punya. Di sela-sela kuliah, ia menjual buku kepada teman-temannya, kadang menjadi kernet angkot demi tambahan uang makan. Malamnya, ia kembali mengurus kosan, memastikan semuanya tetap berjalan baik.
Setiap liburan, ia kembali ke sawah, membantu pria yang telah membawanya ke dunia baru ini. Pria itu sudah menganggapnya seperti anak sendiri, dan Raka pun mulai melihatnya sebagai sosok ayah yang selama ini ia rindukan.
Meski jalannya berat, Raka tak pernah goyah. Ia selalu menjadi yang terbaik di kelasnya, lulus lebih cepat dari semua teman seangkatannya. Di organisasi, ia melatih jiwa kepemimpinannya, belajar berbicara di depan banyak orang, membangun jaringan yang kelak akan membantunya di dunia kerja.
----------
Namun, hidup tak hanya tentang kemenangan.
Enam bulan sebelum wisuda, saat ia tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), kabar duka datang seperti badai yang merobohkan segalanya.
Langit siang itu terlalu terik, seperti membakar tanah yang sudah lama kehilangan kelembapannya. Raka duduk di bawah pohon rindang di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN)-nya, memandangi bukit yang jauh, ketika pemilik pondok tempat dia menginap selama KKN memanggil-manggil namanya.
"Ada panggilan telepon dari kampung!"
Ia begegas mengangkat gagang telepon rumah dengan tangan gemetar, firasat buruk berputar di kepalanya.
Dari balik telepon terdengar suara yang ia kenali adalah kerabatnya yang berada di Ibukota Kabupaten.
"Raka, pulanglah segera. Ibumu sakit."
Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ibu sakit? Ibu yang selama ini seperti karang di tengah badai? Ibu yang tak pernah mengeluh, yang selalu kuat meski beban hidup menekannya dari segala arah?
Tanpa berpikir panjang, ia mengemas barang-barangnya dan menempuh perjalanan panjang kembali ke desa. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba?
Saat akhirnya ia sampai di rumah, matanya membelalak.
Di atas dipan kayu yang sudah mulai usang, ibunya terbaring lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya mengecil, matanya sayu seperti api yang mulai meredup.
"Ibu…" suara Raka nyaris tak terdengar. Ia berlutut di samping ibunya, menggenggam tangan yang dulu begitu kuat mencangkul tanah, kini dingin dan rapuh.
"Raka…" suara ibunya lirih, senyum lemah terbit di bibirnya.
Ia ingin menangis, tapi ia tahu air mata tidak akan menyembuhkan ibunya.
Ia ingin membawanya ke rumah sakit, tapi bagaimana? Biaya perawatan bukan sesuatu yang bisa mereka jangkau.
Raka merasa marah pada dirinya sendiri—pada ketidakberdayaannya, pada fakta bahwa setelah semua usaha dan perjuangan, ia masih tidak mampu menolong orang yang paling ia cintai.
Selama seminggu di kampung, ia menunggu keajaiban. Ia menunggu tanda-tanda kesembuhan, berharap ibunya akan bangkit, tersenyum, dan mengatakan bahwa semua ini hanya cobaan kecil. Tapi waktu terus berjalan, dan keajaiban tak kunjung datang.
Keluarga akhirnya menyarankannya untuk kembali ke lokasi KKN. "Ibumu pasti ingin kau menyelesaikan apa yang sudah kau mulai," kata seorang kerabat dengan nada penuh kasih.
Raka menatap wajah ibunya lama, seolah ingin menghafalkan setiap garis, setiap kerutan yang ditinggalkan oleh waktu dan perjuangan. Dengan berat hati, ia mengangguk.
Pagi itu, ia bersiap pergi. Ia mendekati ibunya, menggenggam tangannya sekali lagi.
"Ibu, Raka pamit…"
Tiba-tiba, tarikan napas panjang terdengar. Sejenak, ruangan terasa hening, seakan waktu berhenti.
Lalu, keheningan itu berubah menjadi kehampaan.
Raka menatap ibunya yang kini terdiam, mata yang tadi masih menyimpan sisa-sisa cahaya kini kosong.
"Ibu?" suara Raka tercekat.
Tak ada jawaban.
Langit seakan runtuh. Dunianya hancur dalam sekejap.
Ia mengguncang tubuh ibunya, berharap ini hanya mimpi buruk, berharap ada keajaiban terakhir yang akan datang. Tapi tubuh itu tetap diam. Nafas panjang tadi adalah yang terakhir.
Raka jatuh berlutut. Air mata yang ia tahan selama ini akhirnya pecah, tumpah ke lantai tanah tempat ia dulu belajar berjalan, tempat ibunya dulu menggendongnya dengan penuh kasih sayang.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.
Hari-hari setelah kepergian ibunya adalah kabut yang kelam. Raka merasa tidak ada gunanya kembali ke KKN. Apa gunanya menuntut ilmu jika ia gagal menyelamatkan orang yang paling berarti baginya? Apa gunanya melangkah maju jika ia tak bisa membawa ibunya bersamanya?
Namun, keluarga kembali menenangkannya.
"Jangan biarkan ibumu pergi dengan kesedihan, Nak. Selesaikan apa yang sudah kau mulai. Itu yang ibumu inginkan."
Seminggu setelah pemakaman, dengan hati yang berat, Raka meninggalkan kampung. Ia melangkah pergi, meninggalkan pusara yang basah oleh air mata, meninggalkan rumah yang kini terasa kosong.
Tapi satu hal yang tidak ia tinggalkan—janji dalam hatinya.
Ia akan menyelesaikan perjalanan ini. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk ibunya. Untuk perempuan yang telah memberikan segalanya, bahkan di saat terakhirnya.
-------
Hari wisuda tiba. Raka berdiri di panggung, menerima gelar sebagai wisudawan terbaik. Sorak-sorai menggema di auditorium, tapi di dalam dadanya, hanya ada keheningan.
Di antara para orang tua yang tersenyum bangga, kursi untuk ibunya kosong. Tidak ada tangan kurus yang akan menepuk pundaknya, tidak ada suara lembut yang berbisik, “Ibu bangga padamu, Nak.”
Air matanya jatuh. Bukan karena bahagia, tapi karena ia ingin ibunya ada di sini.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ibunya pasti melihat. Pasti tersenyum dari tempatnya di sana, di antara awan-awan yang dulu selalu kelabu.
---------
Setelah wisuda, Raka bekerja di kota itu selama beberapa waktu. Ia membangun karier dari nol, memulai dari bawah dengan ketekunan yang sama seperti saat ia mengayuh sepeda ke kampus setiap pagi.
Hingga suatu hari, sebuah panggilan datang. Sebuah perusahaan besar di seberang pulau menawarkan posisi untuknya.
Ia pergi, meninggalkan kota yang telah membesarkannya, menuju tanah baru yang menanti langkahnya.
Dan di sanalah, di perantauan, Raka menemukan keberhasilannya. Ia menjadi seseorang yang dulu hanya ia impikan.
Ia tidak lagi anak kecil yang menggantung sepatu di leher, tidak lagi remaja yang takut bermimpi. Kini, ia adalah seseorang yang telah membuktikan bahwa tanah tandus bukanlah akhir dari segalanya—jika kau berani melangkah lebih jauh.
-------
Di suatu sore yang tenang, Raka berdiri di jendela kantornya, menatap cakrawala. Langit di sana tidak kelabu seperti di desanya.
Ia tersenyum.
Di dalam hatinya, ia tahu, meski tanah kelahirannya tetap tandus, mimpinya telah tumbuh subur.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan kembali. Bukan lagi sebagai anak kecil yang melangkah tanpa alas kaki, tapi sebagai seseorang yang akan menanam harapan baru di tanah yang dulu hampir mengubur mimpinya.
(Bersambung...)

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Ap...

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

YouTuber, debater, dan filmmaker. Itulah identitas yang terpampang di akun YouTube Muhammad Agung Hapsah. AGUNG Hapsah. Sosok yang sangat familiar bagi pengguna YouTube. Ketik saja namanya di kolom pencarian situs berbagi video itu. Anda akan menemukan barisan video pendek yang semua inspiratif, lucu, menghibur. Lebih lagi, video yang ditayangkan tidak menyudutkan pihak lain. Pada slot bagian atas laman koleksi videonya di YouTube, ada Agung Hapsah dengan foto hitam putih. Berkacamata. Melirik ke kiri atas. Di bawah namanya tertulis 54 video --saat dibuka kemarin (13/6) pagi. Di bagian bawah lagi, video pendek karyanya berderet. Ada #ArapMaklum w/Agung Hapsah, GO-VIDEO 2016_ Lebih dari Transportasi, dan SALAH PRANK. 6 Fakta Unik tentang Agung Hapsah, dan JOMBLO yang melengkapi urutan lima besar deretan videonya. Tak ketinggalan, ada juga video berjudul Tips Cerdas Memanfaatkan YouTube ala Agung Hapsah. Video ya...

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom...