Setelah menyelesaikan kuliahnya, Raka bersama beberapa sahabat karibnya membuka kursus bahasa Inggris. Bukan di gedung mewah, tetapi di tempat sederhana yang penuh semangat dan kehangatan. Mereka tak sekadar mengajarkan bahasa, tetapi juga menumbuhkan mimpi dan keyakinan bahwa dunia luas menanti untuk dijelajahi.
Program andalan mereka adalah “Perkampungan Bahasa Inggris”, sebuah kegiatan intensif dua minggu yang diadakan di sebuah benteng peninggalan kerajaan masa lalu. Tempat bersejarah yang anggun dengan tembok kokoh, menyimpan kenangan masa lampau dan aura romantis yang tak tertandingi. Di sana, di bawah langit jingga senja, peserta tak hanya belajar bahasa, tapi juga menyelami keindahan masa lalu dan merajut impian tentang masa depan.
Di antara dinding kokoh benteng itu, Raka menjadi instruktur andalan. Retorikanya memikat, suaranya tenang namun penuh wibawa, dan senyumnya selalu membawa kehangatan. Ia mengajarkan bahasa dengan cara yang berbeda, membuat kata-kata terasa hidup dan bermakna. Ia tidak sekadar mengajar, tetapi juga menyentuh hati setiap peserta, memberikan inspirasi dan harapan.
Tak heran, istilah “Korektor” menjadi populer. “Korban Retorika Senior”, begitu mereka menyebut para peserta yang tak kuasa menahan pesona Raka. Setiap angkatan, selalu ada yang kepincut. Bukan hanya karena penampilannya, tetapi pada caranya menyampaikan gagasan, pada tatapan matanya yang teduh, dan pada senyumnya yang sederhana namun tulus.
Namun di balik semua kekaguman itu, Raka tetap teguh. Hatinya kokoh seperti tembok benteng yang berdiri melawan waktu. Ia menyadari bahwa kekaguman dan cinta kadang hadir sekejap, terhempas oleh angin laut dan tersapu oleh waktu. Baginya, perkampungan bahasa ini adalah tempat untuk menanamkan ilmu dan harapan, bukan sekadar panggung untuk retorika.
Dan di sana, di punggung tembok benteng, Raka terus mengukir kenangan, menciptakan impian, dan menorehkan kisah yang tak lekang oleh waktu.
------------
Sore itu, angin berembus lembut di pelataran benteng, membawa serta aroma laut yang asin dan hangat. Di atas punggung tembok benteng, Raka berdiri dengan pandangan lurus ke cakrawala, menatap matahari yang perlahan tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang megah. Di sampingnya, Alia berdiri diam, rambut panjangnya ditiup angin, wajahnya disinari cahaya keemasan senja. Senyum malu-malu menghiasi bibirnya saat Raka menghela napas dalam, memantapkan hati yang sejak lama bergetar oleh kehadirannya.
“Alia,” suara Raka terdengar parau, “Aku... aku jatuh cinta padamu.” Kata-kata itu akhirnya terucap, setelah sekian lama terpendam dalam kebisuan. Matanya tak lepas dari siluet Alia yang tampak semakin cantik dalam balutan senja. “Aku ingin kau tahu, sejak pertama kali kita bertemu di perkampungan bahasa Inggris ini, hatiku sudah tak bisa berpaling.”
Alia terdiam, wajahnya memerah, namun matanya menyimpan kilau haru. Ia menggigit bibir, mencoba menahan senyum yang terus mengembang. “Kamu ini ya... Korektor,” ujarnya pelan, menggoda. “Saya tidak ingin jadi Korban Retorika Kotor Senior.”
Raka tertawa kecil, tawanya hangat, membebaskan kecemasan yang sempat membelenggunya. “Kalau begitu, biarkan aku jadi korektor yang setia... di sisimu, selamanya.”
------------
Alia tersenyum, dan tanpa kata, genggaman jemari mereka bersatu, menguat erat seolah berjanji pada senja dan lautan yang menjadi saksi. Mereka berdiri di sana, di punggung tembok benteng, di bawah langit yang mulai gelap, menyatukan harapan dan impian dalam keheningan yang damai.
----------
Namun, di tengah kebahagiaan itu, takdir kembali menguji Raka. Suatu malam, saat sedang sibuk mempersiapkan materi pelatihan, telepon dikantornya berdering. “Halo, ini Raka?” suara di seberang terdengar tegas namun ramah.
“Iya, benar. Dengan siapa ini?” tanya Raka, penasaran.
“Saya Ibas, dari sebuah perusahaan batubara di pulau seberang. Kami sedang mencari tenaga kerja yang bisa berbahasa Inggris dengan baik.” ujar orang diseberang sana to the point.
Raka terdiam sejenak. Dadanya berdegup kencang. Pulau seberang? Perusahaan batubara? Bagaimana bisa? Ia hampir tak percaya, namun suara di telepon itu terdengar sangat meyakinkan. Ibas menjelaskan bahwa dia sedang cuti dan mendapat tugas dari atasannya untuk mencari orang yang siap bekerja di pulau seberang.
Tawaran itu datang seperti angin tiba-tiba, membawa harapan baru namun juga kebimbangan yang dalam.
Raka mencoba menemui Ibas. Belakangan diketahui bahwa Raka direkomendasikan oleh mantan peserta kursusnya yang kebetulan bertemu tanpa sengaja dengan Ibas.
"Ini pembeli tiket pesawat," kata Ibas sambil menyerahkan sejumlah uang. "Tapi sekiranya kamu memutuskan untuk tidak mengambil tawaran ini, uang ini adalah rezekimu.” lanjut Ibas dengan nada penuh ketulusan.
Perasaan Raka berkecamuk. Ia melihat segepok uang di tangannya, jumlah yang cukup besar untuk dia yang selama ini hanya mendapatkan seadanya. Di satu sisi, tawaran itu sangat menggoda, ini adalah kesempatan emas untuk mengubah hidupnya, untuk memberikan penghidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Namun di sisi lain, hatinya masih terpaut di kota ini, pada kenangan yang telah membesarkannya, pada sahabat-sahabat yang setia, dan terutama pada kekasihnya Alia.
------------
Hari keberangkatan semakin dekat. Di pagi yang sendu, Raka berdiri di depan pusara ibunya. Ia berlutut, menyentuh batu nisan dengan jemari yang gemetar. “Bu, Raka pamit... Raka akan pergi ke tempat yang jauh, mengejar masa depan yang lebih baik. Doakan Raka, Bu...”
Angin bertiup pelan, seolah membawa bisikan lembut dari sang ibu yang telah tiada. Raka mengusap air mata yang menetes perlahan, menahan isak yang menggetarkan dadanya. “Suatu saat nanti, Raka akan kembali... dengan segudang keberhasilan... dan membanggakan Ibu.”
Perpisahan dengan sahabat-sahabatnya tak kalah menyakitkan. Raka memilih kapal laut dan menyimpan sebagian duit pemberian orang itu untuk bekal dalam perjalanan. Di pelabuhan, mereka berdiri dalam diam, tak sanggup mengucapkan kata-kata. Pelukan erat, tepukan di punggung, dan pandangan mata yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Raka menatap Alia yang berdiri paling belakang, matanya merah menahan tangis.
“Kamu benar-benar pergi?” tanya Alia dengan suara bergetar.
Raka mengangguk, berusaha tersenyum meski hatinya terasa perih. “Aku harus pergi, Alia... untuk masa depan kita.”
Air mata Alia akhirnya jatuh, ia menunduk, menggigit bibir menahan isak. Raka mendekat, menyentuh bahu gadis itu dengan lembut. “Tunggulah aku... Suatu hari nanti, aku akan kembali dan kita akan melihat senja di benteng itu lagi.”
Alia mengangguk pelan, tak sanggup berkata-kata. Mereka saling menatap, membiarkan air mata bicara, hingga akhirnya suara kapal memecah keheningan. Saat itu juga, perpisahan yang paling menyakitkan dalam hidup Raka terjadi. Ia melangkah pergi, naik ke dek kapal yang akan membawanya ke negeri asing, meninggalkan kota yang penuh kenangan, meninggalkan cinta yang masih bersemi.
-----------
Di atas dek kapal, Raka berdiri mematung, memandang daratan yang perlahan menjauh dari pandangan. Angin laut bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk kulit. Ia melihat kota yang telah memberinya begitu banyak kenangan, melihat punggung tembok benteng bersejarah yang tegak berdiri, menyimpan janji yang belum sempat ia wujudkan.
Hatinya berkecamuk, rindu dan harapan bercampur menjadi satu. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Saat daratan benar-benar lenyap di cakrawala, Raka menyadari bahwa ia telah memulai babak baru dalam hidupnya. Lautan biru membentang di depannya, seperti lembaran baru yang menunggu untuk ditulis. Negeri baru menantinya, dengan segala ketidakpastian dan impian yang masih menggantung.
“Aku akan kembali,” gumamnya pelan, suaranya terbawa angin laut. “Suatu hari nanti, aku akan kembali.”
Dengan tekad yang menguat, Raka mengepalkan tangan, menggenggam mimpi yang belum usai. Langit di ufuk barat mulai berwarna jingga, mengingatkannya pada senja di benteng bersejarah itu, dan pada janji yang telah ia ikrarkan pada Alia. Ia tersenyum pahit, menyeka air mata yang tersisa, dan menatap ke depan, pada negeri yang akan menjadi tempatnya berjuang, tempatnya mencari sesuap nasi, dan tempatnya menjemput takdir yang belum ia pahami. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, namun ia juga tahu bahwa di balik setiap kesulitan, ada harapan yang menanti.
(Bersambung...)
Comments
Post a Comment