Skip to main content

Cerber: Mimpi di Tanah Gersang: Cahaya Kecil yang Menolak Padam (1)

Di bawah langit yang seolah enggan tersenyum, awan-awan kelabu menggantung berat seperti beban yang tak terucapkan. Tanah tandus, retaknya menganga bagai luka purba yang tak pernah sembuh, menelan harapan yang tumbuh terlalu rapuh. Angin melolong seperti ibu yang kehilangan anaknya, membawa kisah-kisah nestapa yang berulang, seakan masa lalu dan masa depan berbaur dalam satu warna: debu dan luka.

Di sebuah desa yang nyempil di tengah pegunungan tandus, lahirlah seorang anak dengan dada penuh bara. Namanya Raka—sebutir cahaya kecil yang menolak padam, meski angin bertiup kencang untuk memadamkannya. Ia tak dilahirkan di atas hamparan sutra, tak pula dibesarkan dalam pelukan kelembutan. Rumahnya berdiri ringkih, berdinding bambu yang tua dan berderit setiap kali angin menyentuhnya. Atapnya berlubang-lubang, membiarkan hujan turun seperti cucuran air mata yang menyelinap di malam-malam sunyi.

Namun, meski rumah itu ringkih, cinta di dalamnya kokoh seperti akar pohon yang menembus bumi tandus. Bu Sri, ibunya, adalah perempuan yang menggenggam hidup dengan tangan kokoh dan punggung yang terbiasa menahan beban. Ia adalah ladang yang tak kenal lelah menumbuhkan harapan bagi anak-anaknya. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, ia telah menyusuri ladang, membiarkan jemarinya menyentuh tanah keras bebatuan yang enggan memberi. Setiap sore, ia meniti jalan berdebu menuju pasar, menjual hasil bumi yang hanya cukup untuk menukar sedikit beras dan garam.

Bagi Raka, kehidupan adalah sebentuk perlawanan. Setiap pagi, ia menyusuri jalan berbatu menuju sekolah. Sepasang sepatunya, terlalu besar untuk kakinya yang mungil, selalu ia kalungkan di leher. Ia ingin sepatu itu bertahan lama, sebab membelinya lagi bukan kemewahan yang bisa ia harapkan. Maka, ia melangkah tanpa alas, membiarkan kulit telapaknya bersahabat dengan kerikil tajam, membiarkan luka-luka kecil mengajarinya arti keteguhan.

Di kelas, Raka bukan sekadar murid biasa. Ia adalah bintang kecil di langit gelap, bersinar meski tak semua mata mau menengadah untuk melihat. Ia membawa kemenangan bagi sekolahnya, menaklukkan soal-soal yang bagi anak lain terasa bagai labirin tanpa pintu keluar. Tapi bagi Raka, setiap pertanyaan adalah pintu. Setiap jawaban adalah langkah maju.

Namun, ketika bel pulang sekolah berbunyi, peran Raka berubah. Ia tak bisa berlama-lama menikmati kejayaan di atas kertas. Di rumah, ia adalah tangan kanan ibunya, membantu mencangkul tanah, menggiring kambing, atau menapaki jalan panjang menuju jalan raya untuk mengantar dagangan sang ibu. Jarak tak pernah menjadi alasan untuk berhenti. Baginya, setiap langkah adalah doa, setiap tetes keringat adalah harapan yang ditanam.

Malam-malam di desanya sepi, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang menceritakan rahasia-rahasia lama. Tapi di dalam hati Raka, ada nyala kecil yang tak mau padam. Ia bermimpi—tentang masa depan yang lebih baik, tentang rumah yang tak bocor saat hujan, tentang sebuah meja belajar di mana ia bisa menulis tanpa perlu menahan lapar.

Tapi takdir sering kali mengolok-olok impian dengan kenyataan yang getir. Setelah menamatkan SMA dengan prestasi gemilang, setelah diterima di berbagai perguruan tinggi ternama, Raka harus menghadapi tembok yang lebih tinggi dari apa pun yang pernah ia panjat: biaya yang mustahil ia gapai. Dunia yang telah memberinya harapan, kini menutup pintu di hadapannya dengan suara yang begitu menyakitkan.
Ia menelan pahit itu dalam diam. Tak ada air mata yang tumpah, tak ada keluhan yang menggema di langit. Ia hanya berdiri di depan rumahnya, memandangi bintang-bintang yang seolah tersenyum sinis padanya. Tapi ia tahu, menyerah bukanlah pilihan.

Maka, di bawah langit yang sama, di tanah yang sama, Raka berjanji pada dirinya sendiri: Jika aku tak bisa melangkah ke dunia luar, maka aku akan membangun jalan di sini. Aku akan membuat dunia ini lebih baik, meski harus mulai dari sebutir debu.
Malam itu, angin berhembus lebih lembut, seakan mengamini janji seorang anak lelaki yang telah menolak tunduk pada nasib.
Bersambung ....

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Ap...

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

YouTuber, debater, dan filmmaker. Itulah identitas yang terpampang di akun YouTube Muhammad Agung Hapsah. AGUNG Hapsah. Sosok yang sangat familiar bagi pengguna YouTube. Ketik saja namanya di kolom pencarian situs berbagi video itu. Anda akan menemukan barisan video pendek yang semua inspiratif, lucu, menghibur. Lebih lagi, video yang ditayangkan tidak menyudutkan pihak lain. Pada slot bagian atas laman koleksi videonya di YouTube, ada Agung Hapsah dengan foto hitam putih. Berkacamata. Melirik ke kiri atas. Di bawah namanya tertulis 54 video --saat dibuka kemarin (13/6) pagi. Di bagian bawah lagi, video pendek karyanya berderet. Ada #ArapMaklum w/Agung Hapsah, GO-VIDEO 2016_ Lebih dari Transportasi, dan SALAH PRANK. 6 Fakta Unik tentang Agung Hapsah, dan JOMBLO yang melengkapi urutan lima besar deretan videonya. Tak ketinggalan, ada juga video berjudul Tips Cerdas Memanfaatkan YouTube ala Agung Hapsah. Video ya...

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom...