Di bawah langit yang seolah enggan tersenyum, awan-awan kelabu menggantung berat seperti beban yang tak terucapkan. Tanah tandus, retaknya menganga bagai luka purba yang tak pernah sembuh, menelan harapan yang tumbuh terlalu rapuh. Angin melolong seperti ibu yang kehilangan anaknya, membawa kisah-kisah nestapa yang berulang, seakan masa lalu dan masa depan berbaur dalam satu warna: debu dan luka.
Di sebuah desa yang nyempil di tengah pegunungan tandus, lahirlah seorang anak dengan dada penuh bara. Namanya Raka—sebutir cahaya kecil yang menolak padam, meski angin bertiup kencang untuk memadamkannya. Ia tak dilahirkan di atas hamparan sutra, tak pula dibesarkan dalam pelukan kelembutan. Rumahnya berdiri ringkih, berdinding bambu yang tua dan berderit setiap kali angin menyentuhnya. Atapnya berlubang-lubang, membiarkan hujan turun seperti cucuran air mata yang menyelinap di malam-malam sunyi.
Namun, meski rumah itu ringkih, cinta di dalamnya kokoh seperti akar pohon yang menembus bumi tandus. Bu Sri, ibunya, adalah perempuan yang menggenggam hidup dengan tangan kokoh dan punggung yang terbiasa menahan beban. Ia adalah ladang yang tak kenal lelah menumbuhkan harapan bagi anak-anaknya. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, ia telah menyusuri ladang, membiarkan jemarinya menyentuh tanah keras bebatuan yang enggan memberi. Setiap sore, ia meniti jalan berdebu menuju pasar, menjual hasil bumi yang hanya cukup untuk menukar sedikit beras dan garam.
Bagi Raka, kehidupan adalah sebentuk perlawanan. Setiap pagi, ia menyusuri jalan berbatu menuju sekolah. Sepasang sepatunya, terlalu besar untuk kakinya yang mungil, selalu ia kalungkan di leher. Ia ingin sepatu itu bertahan lama, sebab membelinya lagi bukan kemewahan yang bisa ia harapkan. Maka, ia melangkah tanpa alas, membiarkan kulit telapaknya bersahabat dengan kerikil tajam, membiarkan luka-luka kecil mengajarinya arti keteguhan.
Di kelas, Raka bukan sekadar murid biasa. Ia adalah bintang kecil di langit gelap, bersinar meski tak semua mata mau menengadah untuk melihat. Ia membawa kemenangan bagi sekolahnya, menaklukkan soal-soal yang bagi anak lain terasa bagai labirin tanpa pintu keluar. Tapi bagi Raka, setiap pertanyaan adalah pintu. Setiap jawaban adalah langkah maju.
Namun, ketika bel pulang sekolah berbunyi, peran Raka berubah. Ia tak bisa berlama-lama menikmati kejayaan di atas kertas. Di rumah, ia adalah tangan kanan ibunya, membantu mencangkul tanah, menggiring kambing, atau menapaki jalan panjang menuju jalan raya untuk mengantar dagangan sang ibu. Jarak tak pernah menjadi alasan untuk berhenti. Baginya, setiap langkah adalah doa, setiap tetes keringat adalah harapan yang ditanam.
Malam-malam di desanya sepi, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang menceritakan rahasia-rahasia lama. Tapi di dalam hati Raka, ada nyala kecil yang tak mau padam. Ia bermimpi—tentang masa depan yang lebih baik, tentang rumah yang tak bocor saat hujan, tentang sebuah meja belajar di mana ia bisa menulis tanpa perlu menahan lapar.
Tapi takdir sering kali mengolok-olok impian dengan kenyataan yang getir. Setelah menamatkan SMA dengan prestasi gemilang, setelah diterima di berbagai perguruan tinggi ternama, Raka harus menghadapi tembok yang lebih tinggi dari apa pun yang pernah ia panjat: biaya yang mustahil ia gapai. Dunia yang telah memberinya harapan, kini menutup pintu di hadapannya dengan suara yang begitu menyakitkan.
Ia menelan pahit itu dalam diam. Tak ada air mata yang tumpah, tak ada keluhan yang menggema di langit. Ia hanya berdiri di depan rumahnya, memandangi bintang-bintang yang seolah tersenyum sinis padanya. Tapi ia tahu, menyerah bukanlah pilihan.
Maka, di bawah langit yang sama, di tanah yang sama, Raka berjanji pada dirinya sendiri: Jika aku tak bisa melangkah ke dunia luar, maka aku akan membangun jalan di sini. Aku akan membuat dunia ini lebih baik, meski harus mulai dari sebutir debu.
Malam itu, angin berhembus lebih lembut, seakan mengamini janji seorang anak lelaki yang telah menolak tunduk pada nasib.
Bersambung ....
Comments
Post a Comment