Skip to main content

Puasa di Negeri Orang: Merawat Iman di Tengah Tantangan

Ramadhan selalu membawa rasa rindu. Rindu pada suara bedug magrib, rindu pada kebersamaan berbuka dengan keluarga, rindu pada suasana masjid yang ramai oleh lantunan doa dan tadarus. Namun, bagi mereka yang menjalani Ramadhan di perantauan, kerinduan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan ujian sejati tentang seberapa kuat iman dan keteguhan dalam menjalankan ibadah di lingkungan yang berbeda.

Puasa kali ini mengingatkan Kembali pengalaman bersama keluarga menjalani ibadah puasa di Australia, negeri yang jauh dari gemerlap suasana Ramadhan seperti di Indonesia. Tidak ada pawai menyambut bulan suci, tidak ada warung yang tutup di siang hari sebagai bentuk penghormatan, dan tentu saja, tidak ada suara azan berkumandang dari masjid-masjid setiap saat. Di sini, kehidupan berjalan seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda bahwa Ramadhan sedang berlangsung.
Di Indonesia, kita terbiasa dengan aturan yang mendukung ibadah puasa. Rumah makan banyak yang tutup di siang hari, pusat hiburan malam mengurangi jam operasional, dan seluruh masyarakat - baik yang berpuasa maupun tidak - seakan memahami bahwa bulan suci ini memiliki suasana khusus. Berbeda di Australia, tempat di mana mayoritas penduduknya tidak menjalankan puasa dan kehidupan tetap berjalan tanpa ada perubahan. Restoran buka seperti biasa, rekan kerja atau teman kuliah makan di depan kita tanpa merasa perlu menyesuaikan diri, dan iklan makanan terus terpampang di mana-mana. Tak heran jika ada yang mengatakan bahwa menjalankan puasa di negara seperti ini memiliki tantangan tersendiri dan memberikan nilai plus bagi yang mampu menjalaninya dengan penuh kesabaran.
Tantangan lainnya adalah lamanya waktu berpuasa yang berubah-ubah sesuai musim. Jika Ramadhan jatuh pada musim panas, durasi puasa bisa mencapai lebih dari 18 jam. Bayangkan, sahur sekitar pukul tiga pagi dan berbuka hampir pukul sepuluh malam! Di tengah cuaca panas, rasa haus semakin terasa, ditambah lagi dengan pakaian minim yang banyak dikenakan orang-orang di musim ini. Namun, saat Ramadhan bertepatan dengan musim dingin, waktu puasa lebih pendek dan suasana lebih mendukung karena orang-orang lebih banyak mengenakan pakaian tertutup. Ini menjadi contoh bagaimana kondisi yang sama bisa menjadi ujian yang berbeda bagi tiap individu.
Meskipun jauh dari tanah air, semangat kebersamaan tetap terasa di antara komunitas Muslim di perantauan. Di kampus saya, Victoria University, tersedia ruang khusus untuk ibadah. Masjid kecil ini tidak hanya digunakan oleh mahasiswa, tetapi juga oleh masyarakat sekitar. Setiap Jumat, jamaahnya meluber hingga keluar ruangan. Dan ketika Ramadhan tiba, suasana menjadi lebih semarak dengan pelaksanaan shalat tarawih berjamaah.
Dalam sebuah kesempatan bulan puasa, Imam yang memimpin tarawih adalah seorang hafiz Al-Qur'an berusia 13 tahun. Meskipun masih sangat muda, bacaannya begitu merdu hingga menenangkan hati setiap jamaah yang mendengarnya. Di sinilah saya belajar bahwa kebesaran ilmu dan keimanan tidak ditentukan oleh usia, tetapi oleh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Selain shalat tarawih, kegiatan buka puasa bersama juga menjadi momen istimewa. Menu berbuka pun beragam, mencerminkan keberagaman umat Islam yang ada di sini - mulai dari kurma dan roti Turki, hingga kebab khas Timur Tengah. Dalam suasana inilah, meskipun jauh dari keluarga, rasa kebersamaan tetap hadir, mengingatkan bahwa Islam itu universal dan selalu menemukan cara untuk menyatukan umatnya di mana pun berada.
Pengalaman menjalani Ramadhan di negeri orang mengajarkan banyak hal yang bisa kita bawa ke tanah air. Salah satunya adalah tentang makna toleransi. Di Indonesia, kita sering kali merasa bahwa budaya Ramadhan sudah semestinya dihormati oleh semua orang. Namun, apakah kita juga menghormati mereka yang berbeda keyakinan? Di Australia, meskipun tidak ada aturan yang melindungi mereka yang berpuasa, tidak ada juga larangan bagi Muslim untuk menjalankan ibadahnya dengan khusyuk.
Selain itu, pengalaman ini mengajarkan pentingnya membangun kebersamaan lintas budaya. Jika di negeri orang kita bisa saling berbagi dan menghargai keberagaman, mengapa di negeri sendiri kita justru sering terpecah karena perbedaan kecil? Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk merajut kebersamaan, bukan justru memperlebar jurang perbedaan.
Akhirnya, Ramadhan di perantauan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi tentang keteguhan iman di tengah godaan, tentang mencari cahaya di tempat yang asing, dan tentang bagaimana nilai-nilai Islam tetap bisa diterapkan dalam berbagai situasi. Karena sejatinya, di mana pun kita berada, keimanan tetap bisa tumbuh dan bersinar jika kita menjaganya dengan sungguh-sungguh.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Jadi Santap Siang Bareng Presiden

Meraih emas kategori the best speakers (pembicara terbaik) pada ajang National School Debating Championship (NSDC) di Palu, Sulawesi Tengah pada 10–16 Agustus, bisa mengobati kekecewaan Agung Aulia Hapsah. Pasalnya, pelajar SMA 1 Tanah Grogot, Kabupaten Paser itu, harus merelakan kesempatan emas bertemu Presiden Joko Widodo. Pada saat bersamaan, Agung yang cukup terkenal sebagai salah satu YouTuber tersebut mendapat undangan makan siang bersama Presiden di Istana Negara bersama YouTuber nasional lainnya, seperti Arief Muhammad, Cheryl Raissa, dan Natasha Farani. Ali Hapsah, ayah Agung membenarkan hal itu. Pasalnya, Agung harus terbang ke Palu untuk mewakili Kaltim.  “Agung adalah salah seorang yang diundang Pak Presiden. Tapi tak bisa hadir, karena harus mengikuti lomba debat bahasa Inggris di Palu,” kata Ali Hapsah. Meski demikian, pria ramah itu mengaku bangga karena karya-karya Agung khususnya di bidang sinematografi, mendapat perhatian dari presiden. “Ap...

Agung Hapsah, Vlogger Muda Paser yang Menasional: Bikin Video Lucu, Viewer Sampai Ratusan Ribu

YouTuber, debater, dan filmmaker. Itulah identitas yang terpampang di akun YouTube Muhammad Agung Hapsah. AGUNG Hapsah. Sosok yang sangat familiar bagi pengguna YouTube. Ketik saja namanya di kolom pencarian situs berbagi video itu. Anda akan menemukan barisan video pendek yang semua inspiratif, lucu, menghibur. Lebih lagi, video yang ditayangkan tidak menyudutkan pihak lain. Pada slot bagian atas laman koleksi videonya di YouTube, ada Agung Hapsah dengan foto hitam putih. Berkacamata. Melirik ke kiri atas. Di bawah namanya tertulis 54 video --saat dibuka kemarin (13/6) pagi. Di bagian bawah lagi, video pendek karyanya berderet. Ada #ArapMaklum w/Agung Hapsah, GO-VIDEO 2016_ Lebih dari Transportasi, dan SALAH PRANK. 6 Fakta Unik tentang Agung Hapsah, dan JOMBLO yang melengkapi urutan lima besar deretan videonya. Tak ketinggalan, ada juga video berjudul Tips Cerdas Memanfaatkan YouTube ala Agung Hapsah. Video ya...

Conducting Community Development Work in Developing Countries

INTRUDUCTION In the last two decades, countries throughout the world including developed and developing countries were faced the dramatic impacts of global reformation. This new restructuring suggest that we are moving rapidly from the era of the nation states toward a global community dominated by regional market economies and growing interdependence. It has become routine for international observers to point out the surprising changes have taken place in all aspect of global life politically, economically, socially and even culturally. However, a real "new world order" remains mysterious. While experts may claim the global spread of democracy, political and economic instability has reached an unparalleled level. Among developing countries remain experience economic crisis. The gap between rich and poor has doubled in the past three decades, so that we now live in a world in which 20% of its people consume more than 80% of its wealth. During the 1980s, per capita incom...