Nampaknya kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini. Tak heran, isu ini selalu menjadi topik hangat pembicaraan semua kalangan. Tak terkecuali pihak akademisi, para politisi pun kerapkali menggunakan isu kemiskinan untuk meraih simpati masyarakat. Hampir dalam setiap kampanye pemilihan kepala daerah atau Pilkada, persoalan kemiskinan selalu menjadi salah satu isu sentral yang diangkat dan dijanjikan oleh para kandidat untuk mendapat perhatian khusus. Tidak hanya itu, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah pun sudah meluncurkan berbagai macam kebijakan dan program untuk mengatasi permasalahan ini.
Memang angka-angka statistik menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari laporan yang disampaikan oleh lembaga yang mempunyai otoritas dalam hal data kemiskinan, yaitu BPS. Ketika hampir semua kalangan memperikirakan akan terjadi peningkatan jumlah kemiskinan akibat dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, justru secara mengejutkan BPS mengumumkan bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan.
Akan tetapi kalau kita mencermati kejadian empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan angka kemiskinan yang ada tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Sungguh hati kita sangat miris melihat atau membaca di berbagai media seorang ibu bersama bayi yang ada dalam kandungannya meninggal dunia akibat penyakit Diare dan tak sanggup berobat ke Puskesmas. Belum lagi berita seorang anak yang nekad mengakhiri hidupnya akibat malu karena orang tuanya tidak sanggup memberikan uang untuk membayar tagihan sekolahnya dan yang paling mengharukan tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menelan korban 21 orang karena berdesak-desakan untuk mendapatkan uang sebesar Rp 30.000. Sungguh sesuatu yang sulit dipercaya, tragedi memilukan ini terjadi di Negara yang notabene mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Rentetan kejadian ini membuktikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini belum membuahkan hasil yang maksimal.
Kalau demikian kondisinya,lalu apa dampak program-program pengurangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, NGO dan stakeholderlainnya selama ini. Atau jangan-jangan program-program kemiskinan itu justru mengakselerasi tumbuhnya “Culture of Poverty” atau Budaya Kemiskinan di dalam masyarakat.
Seorang Antropolog berkebangsaan Amerika, Oscar Lewis mengatakan bahwa budaya kemiskinan dibentuk oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terinternalisasi dalam norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang ada didalam lingkungan itu. Menurut Oscar, orang yang memiliki budaya kemiskinan akan terwujud dalam sikap dan perbuatannya sifat fatalisme, masa bodoh, cepat putus asa, kurang inisiatif dan tidak memiliki semangat untuk maju. Akibatnya, berujung pada rendahnya prestasi, capaian dan pendidikan. Menurut Oscar, penanganan kemiskinan seperti ini tidak cukup dengan perbaikan secara individu tetapi harus mencakup perbaikan lingkungan sosial ekonomi dimana dia berada, yaitu lingkungan yang memungkinkan si miskin mengaktualisasikan dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Lebih lanjut Oscar mengangap bahwa budaya kemiskinan merupakan penyakit kronis yang sangat berbahaya karena dapat menurun dari generasi ke generasi. Seorang anak yang berada pada lingkungan atau keluarga yang mengidap budaya kemiskinan maka secara psikologis akan terinternalisasi di dalam dirinya sikap dan norma budaya kemiskinan.
Membaca tesis mengenai “Culture of Poverty, saya teringat pada sebuah pengalaman empirik yang saya dapatkan ketika mengajar di sebuah sekolah. Seperti biasa sebelum memulai pelajaran, saya selalu menyempatkan sekitar 5 sampai 7 menit memberikan motivasi dan bayangan peluang dan tantangan yang akan dihadapi kedepan. Maksud saya agar para anak didik mempunyai semangat belajar dan cita-cita yang besar sekaligus mampu memposisikan dirinya untuk menghadapi tantangan dan meraih peluang dimasa depan. Suatu saat ketika saya sedang berbicara di depan kelas, tiba-tiba seorang siswa menyela dan mengatakan “Ini mau mengajar atau ceramah”. Pernyataan tersebut membuat muka saya memerah. Seketika saya menyuruh anak itu berdiri dan saya ancam akan diberi nilai 5 kalau mengulangi perbuatan yang sama. Tetapi lagi-lagi anak itu berucap “Syukur masih dapat 5”. Peristiwa ini membuat saya syok karena saya berasal dari lingkungan dengan budaya yang sangat menghormati guru dan ancaman nilai rendah merupakan sesuatu yang menakutkan dalam budaya yang saya anut.
Lain lagi dengan pengalaman saya menjadi seorang instruktur pada sebuah pelatihan yang pesertanya adalah para guru. Saat itu saya menyampaikan orientasi pelatihan yang mencakup informasi mengenai kegiatan dan materi-materi yang akan disampaikan selama pelatihan. Seorang peserta mengacungkan tangan dan keberatan dengan kegiatan dan materi yang akan dilaksanakan. Dia mengatakan, “Nggak usah susah-susah, kita tidak sanggup lagi berpikir”. Saat itu, saya hanya berpikir, bagaimana mungkin kita mengharapkan prestasi anak-anak dari seorang guru yang ogah bahkan tidak punya semangat untuk mengembangkan profesionalismenya.
Setelah membaca tesis Oscar, saya menjadi teringat, apakah sikap yang ditunjukkan anak dan guru ini merupakan contoh dari sebuah sikap dan prilaku orang yang memiliki budaya kemiskinan, yaitu seorang yang memiliki sikap mudah menyerah, tidak bersamangat dan memilki keinginan atau inisiatif untuk maju yang rendah.
Mengatasi kemiskinan seperti ini saya percaya tidak cukup dengan pendekatan ekonomi sebagaimana yang banyak dilakukan pemerintah selama ini, apalagi model program charity atau “bagi-bagi duit” yang banyak dilakukan oleh para elit politik. Akan tetapi diperlukan suatu pendekatan yang multidimesi, yaitu pendekatan yang memadukan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seorang antropolog dari Bali, Geriya mengatakan bahwa banyak program-program pemerintah yang sejatinya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan tetapi justru mendorong munculnya budaya kemiskinan di dalam masyarakat. Geriya percaya, model program-program yang memberikan “ikan” kepada orang miskin ketimbang memberi “kail” merupakan model program yang dapat mengakselerasi tumbuhnya budaya kemiskinan. Celakanya, program-program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah selama ini lebih banyak memberi ikan daripada kail.
Comments
Post a Comment